Rabu, 14 April 2010

K.H.Hasyim Asy'ari

BIOGRAFI, PEMIKIRAN DAN RELEVANSI PEMIKIRAN K.H. HASYI ASY’ARI TERHADAP PENDIDIKAN SEKARANG









Resume
Disajikan Sebagai Tugas Pada Mata Kuliah Ilmu Pendidikan
Dosen Pembimbing : Yuniar, M. Pd. I
Oleh :
Amran Marhamid (09260003)





FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA (IAIN) RADEN FATAH
PALEMBANG
2009

PENDAHULUAN
Sejak pertengahan abad ke-19, telah banyak para kawula muda Indonesia yang belajar di Mekkah dan Madinah, untuk menekuni agama Islam. Di pusat-pusat studi di Timur Tengah, terutama di Mekkah, banyak bertebaran berbagai literatur ke-Islaman. Realitas ini amat memungkinkan bagi mereka yang belajar di sana, untuk mencapai tingkat pengetahuan yang lebih luas serta pandangan yang lebih terbuka mengenai sosok Islam.
Di antara mereka yang berhasil gemilang di dalam mengkaji Islam adalah Syekh Nawawi al Bantani dari Banten Jawa Barat, Syekh Mahfudz Attarmisi dari Pacitan Jawa Timur, serta Syekh Ahmad Chatib Sambas dari Kalimantan. Kesuksesan mereka ini ditandai dengan kedalaman ilmu yang mereka miliki, yang bukan saja diakui oleh masyarakat Tanah Suci Mekkah melainkan juga diakui oleh masyarakat Arab pada umumnya.
Generasi berikutnya yang juga merupakan murid langsung dari mereka itu antara lain. Muhammad Hasyim Asy’ari. Hasyim Asy’ari yang haus akan ilmu pengetahuan, belajar dari pesantren ke pesantren di daerah Jawa, dan terus belajar ke Mekkah kurang lebih 7 tahun. Zamakhsyari Dhofier melukiskan pribadi Hasyim Asy’ari sebagai seorang yang memiliki kedalaman ilmu secara luar biasa, sehingga para kiai di Jawa lebih suka menyebutnya Hadratus Syekh yang berarti “Tuan Guru Besar” melalui tangan Hadratus Syekh inilah lahir ulama-ulama terkemuka di Jawa yang nyaris seluruhnya menjadi pendiri dan pengasuh pesantren di daerahnya masing-masing
Ketokahan K. H. Hasyim Asy’ari sering kali diceburkan dalam persoalan sosial politik. Hal ini dapat dipahami bahwa sebagian dari sejarah kehidupan K. H. Hasyim Asy’ari juga dihabiskan untuk merebut kedaulatan bangsa Indonesia melawan hegemoni kolonial Belanda dan Jepang. Lebih-lebih organisasi yang didirikannya, Nahdatul Ulama, pada masa itu cukup aktif melakukan usaha-usaha sosial politik.
Akan tetapi, K. H. Hasyim Asy’ari sejatinya merupakan tokoh yang piawai dalam gerakan dan pemikiran kependidikan. Sebagaimana dapat disaksikan, bahwa K. H. Hasyim Asy’ari mau tiak mau bisa dikategorikan sebagai generasi awal yang mengembangkan sistem pendidikan pesantren, terutama di Jawa.
Dari uraian di atas, pemakalah mencoba menjelaskan lebih lanjut dalam judul Biografi, Pemikiran dan Relevansi pemikiran K. H. Hasyim Asy’ari Terhadap Pendidikan Pada Saat Ini. Dengan harapan semoga makalah ini memberikan kontribusinya dalam upaya meningkatkan wawasan keilmuan dan cakrawala berfikir kita,. Amien

PEMBAHASAN

A. Biografi
Nama lengkap K. H. Hasyim Asy’ari adalah Muhammad Hasyim Asy’ari ibn ‘Abd Al-Wahid. Ia lahir di Gedang, sebuah desa di daerah Jombang, Jawa Timur, pada hari selasa kliwon 24 Dzu Al-Qa’idah 1287 H. bertepatan dengan tanggal 14 Februari 1871.
Asal-usul dan keturunan K.H M.Hasyim Asy’ari tidak dapat dipisahkan dari riwayat kerajaan Majapahit dan kerajaan Islam Demak. Salasilah keturunannya, sebagaimana diterangkan oleh K.H. A.Wahab Hasbullah menunjukkan bahawa leluhurnya yang tertinggi ialah neneknya yang kedua iaitu Brawijaya VI. Ada yang mengatakan bahawa Brawijaya VI adalah Kartawijaya atau Damarwulan dari perkahwinannya dengan Puteri Champa lahirlah Lembu Peteng (Brawijaya VII).
Menurut penuturan ibunya, tanda kecerdasan dan ketokohan Hasyim Asy’ari sudah tampak saat ia masih berada dalam kandungan. Di samping masa kandung yang lebih lama dari umumnya kandungan, ibunya juga pernah bermimpi melihat bulan jatuh dari langit ke dalam kandungannya. Mimpi tersebut kiranya bukanlah isapan jempol dan kembang tidur belaka, sebab ternyata tercatat dalam sejarah, bahwa pada usianya yang masih sangat muda, 13 tahun, Hasyim Asy’ari sudah berani menjadi guru pengganti (badal) di pesantren untuk mengajar santri-santri yang tidak jarang lebih tua dari umurnya sendiri.
Bakat kepemimpinan Kiai Hasyim sudah tampak sejak masa kanak-kanak. Ketika bermain dengan teman-teman sebayanya, Hasyim kecil selalu menjadi penengah. Jika melihat temannya melanggar aturan permainan, ia akan menegurnya. Dia membuat temannya senang bermain, karena sifatnya yang suka menolong dan melindungi sesama.
Semasa hidupnya, ia mendapatkan pendidikan dari ayahnya sendiri, terutama pendidikan di bidang ilmu-ilmu Al-Qur’an dan literatur agama lainnya. Setelah itu, ia menjelajah menuntut ilmu ke berbagai pondok pesantren, terutama di Jawa, yang meliputi Shone, Siwilan Buduran, Langitan Tuban, Demangan Bangkalan, dan Sidoarjo, ternyata K. H. Hasyim Asy’ari merasa terkesan untuk terus melanjutkan studinya. Ia berguru kepada K. H. Ya’kub yang merupaka kiai di pesantren tersebut. Kiai Ya’kub lambat laun merasakan kebaikan dan ketulusan Hasyim Asy’ari dalam perilaku kesehariannya, sehingga kemudian ia menjodohkannya dengan putrinya, Khadijah. Tepat pada usia 21 tahun, tahun 1892, Hasyim Asy’ari melangsungkan pernikahan dengan putri K. H. Ya’kub tersebut.
Setelah nikah, K. H. Hasyim Asy’ari bersama istrinya segera melakukan ibadah haji. Sekembalinya dari tanah suci, mertua K. H. Hasyim Asy’ari menganjurkannya menuntut ilmu di Mekkah. Dimungkinkan, hal ini didorong oleh tradisi pada saat itu bahwa seorang ulama belumlah dikatakan cukup ilmunya jika belum mengaji di Mekkah selama bertahun-tahun. Di tempat itu, K. H. Hasyim Asy’ari mempelajari berbagai macam disiplin ilmu, diantaranya adalah ilmu fiqh Syafi’iyah dan ilmu Hadits, terutama literatur Shahih Bukhari dan Muslim.
Disaat K. H. Hasyim Asy’ari bersemangat belajar, tepatnya ketika telah menetap 7 bulan di Mekkah, istrinya meninggal dunia pada waktu melahirkan anaknya yang pertama sehingga bayinya pun tidak terselamatkan. Walaupun demikian, hal ini tidak mematahkan semangat belajarnya untuk menuntut ilmu.
K. H. Hasyim Asy’ari semasa tinggal di Mekkah berguru kepada Syekh Ahmad Amin Al-Athar, Sayyid Sultan ibn Hasyim, Sayyid Ahmad ibn Hasan Al-Athar, Syekh Sayyid Yamani, Sayyid Alawi ibn Ahmad As-Saqqaf, Sayyid Abbas Maliki, Sayid ‘Abd Allah Al-Zawawi. Syekh Shaleh Bafadhal, dan Syekh Sultan Hasyim Dagastani.
Ia tinggal di Mekkah selama 7 tahun. Dan pada tahun 1900 M. atau 1314 H. K. H. Hasyim Asy’ari pulang ke kampung halamannya. Di tempat itu ia membuka pengajian keagamaan yang dalam waktu yang relatif singkat menjadi terkenal di wilayah Jawa.
Tanggal 31 Januari 1926, bersama dengan tokoh-tokoh Islam tradisional, Kiai Hasyim Asy’ari mendirikan Nahdlatul Ulama, yang berarti kebangkitan ulama. Organisasi ini pun berkembang dan banyak anggotanya. Pengaruh Kiai Hasyim Asy’ari pun semakin besar dengan mendirikan organisasi NU, bersama teman-temannya. Itu dibuktikan dengan dukungan dari ulama di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
K. H. Hasyim Asy’ari dikenal sebagai salah seorang pendiri NU (Nahdatul Ulama). Pada masa pendudukan Jepang, Hasyim Asy’ari pernah ditahan selama 6 bulan, karena dianggap menentang penjajahan Jepang di Indonesia. Karena tuduhan itu tidak terbukti, ia dibebaskan dari tahanan, atas jasa-jasanya dalam perjuangan melawan penjajah Belanda dan Jepang, Hasyim Asy’ari dianugerahi gelar pahlawan kemerdekaan nasional oleh Presiden RI.
Pada tahun 1926 K. H. Hasyim Asy’ari mendirikan partai Nahdatul Ulama (NU). Sejak didirikan sampai tahun 1947 Rais ‘Am (ketua umum) dijabat oleh K. H. Hasyim Asy’ari. Ia pernah menjabat sebagai kepala Kantor Urusan Agama pada zaman pendudukan Jepang untuk wilayah Jawa dan Madura.
K. H. Hasyim Asy’ari wafat pada tahun 1947 di Tebuireng, Jombang Jawa Timur. Hampir seluruh waktunya diabdikan untuk kepentingan agama dan pendidikan.
B. Pemikiran K. H. Hasyim Asy’ari tentang Pendidikan
Tepat pada tanggal 26 Rabi’ Al-Awwal 120 H. bertepatan 6 Februari 1906 M., Hasyim Asy’ari mendirikan Pondok Pesantren Tebuireng. Oleh karena kegigihannya dan keikhlasannya dalam menyosialisakan ilmu pengetahuan, dalam beberapa tahun kemudian pesantren relatif ramai dan terkenal.
Menurut Abu Bakar Aceh yang dikutip oleh editor buku Rais ‘Am Nahdlatul Ulama hal.153 bahwa KH. Hasyim Asy’ari mengusulkan sistem pengajaran di pesantren diganti dari sistem bandongan menjadi sistem tutorial yang sistematis dengan tujuan untuk mengembangkan inisiatif dan kepribadian para santri. Namun hal itu ditolak oleh ayahnya, Asy’ari dengan alasan akan menimbulkan konflik di kalangan kiai senior.
Pada tahun 1916 – 1934 Hasyim Asy’ari membuka sistem pengajaran berjenjang. Ada tujuh jenjang kelas dan dibagi menjadi ke dalam dua tingkatan. Tahun pertama dan kedua dinamakan siffir awal dan siffir tsani yaitu masa persiapan untuk memasuki masa lima tahun jenjang berikutnya. Pada siffir awal dan siffir tsani itu diajarka bahasa Arab sebagai landasan penting pembedah khazanah ilmu pengetahuan Islam.
Kurikulum madrasah mulai ditambah dengan pelajaran-pelajaran bahasa Indonesia (Melayu), matematika dan ilmu bumi, dan tahun 1926 ditambah lagi dengan mata pelajaran bahasa Belanda dan sejarah.
Kiai Hasyim terkenal sebagai ulama yang mampu melakukan penyaringan secara ketat terhadap sekian banyak tradisi keagamaan yang dianggapnya tidak memiliki dasar-dasar dalam hadis dan ia sangat teliti dalam mengamati perkembangan tradisi ketarekatan di pulau Jawa, yang nilai-nilainya telah menyimpang dari kebenaran ajaran Islam.
Menurut hasyim Asy’ari, ia tetap mempertahankan ajaran-ajaran mazhab untuk menafsirkan al-Qur’an dan hadis dan pentingnya praktek tarikat.
Sebagaimana diketahui dalam sejarah pendidikan Islam tradisional, khususnya di Jawa, peranan kiai Hasyim yang kemudian terkenal dengan sebutan Hadrat Asy-Syaikh (guru besar di lingkungan pesantren), sangat besar dalam pembentukan kader-kader ulama pimpinan pesantren. Banyak pesantren besar yang terkenal, terutama, yang berkembang di Jawa Timur dan Jawa Tengah, dikembangkan oleh para kiai hasil didikan kiai Hasyim.
Beliau menyebutkan bahwa tujuan utama ilmu pengetahan adalah mengamalkan. Hal itu dimaksudkan agar ilmu yang dimiliki menghasilkan manfaat sebagai bekal untuk kehidupan akhirat kelak. Terdapat dua hal yang harus diperhatikan dalam menuntut ilmu, yaitu : pertama, bagi murid hendaknya berniat suci dalam menuntut ilmu, jangan sekali-kali berniat untuk hal-hal duniawi dan jangan melecehkannya atau menyepelikannya. Kedua, bagi guru dalam mengajarkan ilmu hendaknya meluruskan niatnya terlebih dahulu, tidak mengharapkan materi semata. Agaknya pemikiran beliau tentang hal tersebut di atas, dipengaruhi oleh pandangannya akan masalah sufisme (tasawuf), yaitu salah satu persyaratan bagi siapa saja yang mengikuti jalan sufi menurut beliau adalah “niat yang baik dan lurus”.
Salah satu karya monumental K. H. Hasyim Asy’ari yang berbicara tentang pendidikan adalah kitab Adab Al-‘Alim wa Al-Muta’allum wa ma Yataqaff Al-Mu’allimin fi Maqamat Ta’limih yang dicetak pertama kali pada tahun 1415 H. sebagaimana umumnya kitab kuning, pembahasan terhadap masalah pendidikan lebih ditekankan pada masalah pendidikan etika. Meski demikian tidak menafikan beberapa aspek pendidikan lainnya. Keahliannya dalam bidang hadits ikut pula mewarnai isi kitab tersebut.
Belajar menurut Hasyim Asy’ari merupakan ibadah untuk mencari ridha Allah, yang mengantarkan manusia untuk memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat. Karenanya belajar harus diniatkan untuk mengembangkan dan melestarikan nilai-nilai Islam, bukan hanya untuk sekedar menghilangkan kebodohan. Pendidikan hendaknya mampu menghantarkan umat manusia menuju kemaslahatan, menuju kebahagiaan dunia dan akhirat. Pendidikan hendaknya mampu mengembangkan serta melestarikan nilai-nilai kebajikan dan norma-norma Islam kepada generasi penerus umat, dan penerus bangsa. Umat Islam harus maju dan jangan mau dibodohi oleh orang lain, umat Islam harus berjalan sesuai dengan nilai dan norma-norma Islam.
Catatan yang menarik dan perlu dikedepankan dalam membahas pemikiran dan pandangan yang ditawarkan oleh Hasyim Asy’ari adalah etika dalam pendidikan, dimana guru harus membiasakan diri menulis, mengarang dan meringkas, yang pada masanya jarang sekali dijumpai. Dan hal ini beliau buktikan dengan banyaknya kitab hasil karangan atau tulisan beliau.
Betapa majunya pemikiran Hasyim Asy’ari dibanding tokoh-tokoh lain pada zamannya, bahkan beberapa tahun sesudahnya. Dan pemikiran ini ditumbuh serta diangkat kembali oleh pemikir pendidik zaman sekarang ini, yaitu Harun Nasution, yang mengatakan hendaknya para dosen-dosen di Perguruan Tinggi Islam khususnya agar membiasakan diri untuk menulis.
Selain mumpuni dalam bidang agama, Kiai Hasyim juga ahli dalam mengatur kurikulum pesantren, mengatur strategi pengajaran, memutuskan persoalan-persoalan actual kemasyarakatan, dan mengarang kitab. Pada tahun 1919, ketika masayarakat sedang dilanda informasi tentang koperasi sebagai bentuk kerjasama ekonomi, Kiai Hasyim tidak berdiam diri. Beliau aktif bermuamalah serta mencari solusi alternatif bagi pengembangan ekonomi umat, dengan berdasarkan pada kitab-kitab Islam klasik. Beliau membentuk badan semacam koperasi yang bernama Syirkatul Inan li Murabathati Ahli al-Tujjar.
Menurut Hasyim Asya’ri ada beberapa hal yang harus dimiliki oleh seorang pendidik Islam, beberapa hal tersebut adalah adab atau etika bagi alim / para guru. Paling tidak menurut Hasyim Asy’ari ada dua puluh etika yang harus dipunyai oleh guru ataupun calon guru.
1. selalu berusah mendekatkan diri kepada Allah dalam keadaan apapun, bagaimanapun dan dimanapun.
2. mempunyai rasa takut kepada Allah, takut atau khouf dalam keadaan apapun baik dalam gerak, diam, perkataan maupun dalam perbuatan.
3. mempunyai sikap tenang dalam segala hal.
4. ,berhati-hati atau wara dalam perkataan,maupun dalam perbuatan.
5. tidak menggunakan ilmunya hanya untuk tujuan duniawi semata, menghindari tempat –tempat yang dapat menimbulkan maksiat.
6. menyucikan jiwa. Kedelapan belas selalu berusaha mempertajam ilmu, serta selalu mengambil ilmu dari orang lain tentang ilmu yang tidak diketahuinya, meluangkan waktu untuk menulis atau mengarang buku, dan lain sebagainya
Dengan memiliki beberapa etika tersebut diharapkan para guru menjadi pendidikan yang baik, pendidik yang mampu menjadi teladan anak didik. Di sisi lain, ketika pendidik mempunyai etika, maka yang terdidik pun akan menjadi anak didik yang beretika juga, karena keteladanan mempunyai peran penting dalam mendidik akhlak anak.
Untuk itu perlu kiranya para calon pendidik maupun yang telh menjadi pendidik untuk memiliki etika tersebut.

C. Relevansi Pemikran K.H. Hasyim Asy’ari Terhadap Pendidikan Pada Saat Ini
Relevansi pemikiran K. H. Hasyim Asy’ari terhadap pendidikan sekarang nampak pada munculnya berbagai lembaga yang dinaungi panji-panji islam atau lebih dikenal dengan sebutan Pondok Pesantren. Pesantren sampai sekarang masih menjadi satu-satunya lembaga yang diharapkan mampu melahirkan sosok ulama yang berkualitas, dalam arti mendalam pengetahuan agamanya, agung moralitasnya dan besar dedikasi sosialnya. Walaupun banyak corak dan warna profesi santri setelah belajar dari pesantren, namun figur kiai masih dianggap sebagai bentuk paling ideal, apalagi ditengah krisis ulama sekarang ini.
KH. Ilyas Rukyat (al-Maghfurlah) mengatakan, munculnya figur santri sebagai seorang ulama masih menjadi harapan besar pesantren. Label kiai tidak bisa diberikan oleh pesantren, tapi oleh masyarakat setelah melihat ilmu, moral, dan perjuangannya ditengah masyarakat. Santri tersebut mampu menyampaikan gagasan-gagasan besar dengan bahasa sederhana yang bisa dipahami dan dilaksanakan masyarakat luas.
Memang harus diakui, saat ini, alumni pesantren yang mampu muncul sebagai seorang kiai berkualitas baik dalam ilmu, moral, dan dedikasi sosialnya sedikit jumlahnya. Modernisasi pesantren mempengaruhi visi seorang santri dalam melihat masa depannya. Banyak dari mereka yang berkeinginan menjadi seorang birokrat, kaum professional, intelektual, dan wirausahawan.
Ragam profesi yang mereka sandang ini menunjukkan elastisitas dan fleksibelitas pesantren dalam membentuk generasi masa depan bangsa. Namun, fenomena kelangkaan ulama menjadi masalah serius yang menarik diperbincangkan. Identitas pesantren sebagai lembaga tafaqquh fiddin (pendalaman ilmu agama) dipertanyakan banyak pihak. Menurut KH. MA. Sahal Mahfudh, semangat santri dalam mengkaji dan mengembangkan ilmu sekarang jauh dibanding santri zaman dulu. Sehingga pesantren sekarang semakin sulit melahirkan ulama besar. Menurutnya, figur santri yang mendalam pemahaman aqidah dan syari’ah masih menjadi figur ideal ditengah goncangan pemikiran keislaman yang massifsekarangini. Disinilah tantangan besar pesantren, bagaimana memadukan visi melahirkan seorang kiai yang berkualitas di satu sisi dan mengakomodir modernisasi tanpa kehilangan identitasnya sebagai lembaga tafaqquh fiddin disisi yang lain.
Modernisasi kehidupan yang menyentuh semua aspek kehidupan akibat revolusi ilmu pengetahuan dan teknologi meniscayakan semua pihak untuk meresponnya secara aktif dan kontekstual. Masalah-masalah kontemporer yang datang silih berganti menuntut partisipasi aktif pesantren untuk ikut memberikan kontribusi maksimal agar mampu memandu gerak dinamika sejarah dengan nilai-nilai sucinya. Seorang kiai atau santri dituntut untuk aktif mengikuti perkembangan informasi dan melakukan revitalisasi tradisi intelektualnya untuk merumuskan jawaban-jawaban sederhana yang aplikatif bagi aneka macam problem kontemporer tersebut. Disinilah letak relevansi dan aktualitas pesantren ditengah moderasi kehidupan.
Kalau pesantren tidak mampu merespons masalah kontemporer dengan khazanah intelektualnya, maka krisis keilmuan pesantren akan berimbas pada krisis identitas santri dalam menatap masa depannya. Krisis identitas ini akan menurunkan kepercayaan diri santri dalam mengarungi masa depannya. Efeknya, semangat santri dalam mengkaji khazanah intelektual dan wacana kontemporer sebagai modal aktualisasi diri ditengah kehidupan sosial menjadi rendah.
Inilah masalah serius yang harus segera ditanggulangi. Karena kebutuhan akan lahirnya ulama masa depan yang berkualitas sudah sangat mendesak supaya kehidupan dunia modern tidak berjalan tanpa kontrol dan over action. Akhirnya, kita berharap pesantren mampu menjawab kritik pedas selama ini tentang kelangkaan ulama yang berkualitas tinggi, bukan sekedar ulama biasa. Saya yakin, pesantren mampu melakukan tugas sucinya ini dengan kerja keras menuju keridloan Allah Swt.

KESIMPULAN
Dari pemaparan di atas, dapatlah diketahui bahwa ketokohan kiai Hasyim Asy’ari dikalangan masyarakat dan organisasi Islam tradisional bukan saja sangat sentral tetapi juga menjadi tipe utama seorang pemimpin, sebagaimana diketahui dalam sejarah pendidikan tradisional, khususnya di Jawa. Peranan kiai Hasyim Asy’ari yang kemudian dikenal dengan sebutan Hadrat Asy-Syaikh (guru besar di lingkungan pesantren).Peranan kiai Hasyim Asy’ari sangat besar dalam pembentukan kader-kader ulama pemimpin pesantren, terutama yang berkembang di Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Beliau menyebutkan bahwa tujuan utama ilmu pengetahan adalah mengamalkan. Hal itu dimaksudkan agar ilmu yang dimiliki menghasilkan manfaat sebagai bekal untuk kehidupan akhirat kelak. Terdapat dua hal yang harus diperhatikan dalam menuntut ilmu, yaitu : pertama, bagi murid hendaknya berniat suci dalam menuntut ilmu, jangan sekali-kali berniat untuk hal-hal duniawi dan jangan melecehkannya atau menyepelikannya. Kedua, bagi guru dalam mengajarkan ilmu hendaknya meluruskan niatnya terlebih dahulu, tidak mengharapkan materi semata. Agaknya pemikiran beliau tentang hal tersebut di atas, dipengaruhi oleh pandangannya akan masalah sufisme (tasawuf), yaitu salah satu persyaratan bagi siapa saja yang mengikuti jalan sufi menurut beliau adalah “niat yang baik dan lurus”.

Dalam bidang organisasi keagamaan, ia pun aktif mengoganisir perjuangan politik melawan kolonial untuk menggerakkan masa, dalam upaya menentang dominasi politik Belanda.Dan pada tanggal 7 September 1947 (1367 H), K. H. Hasyim Asy’ari, yang bergelar Hadrat Asy-Syaikh wafat. Berdasarkan keputusan Presiden No. 29/1964, ia diakui sebagai seorang pahlawan kemerdekaan nasional, suatu bukti bahwa ia bukan saja tokoh utama agama, tetapi juga sebagai tokoh nasion0061l.
Relevansi pemikirannya membuktikan bahwa peran pesantren tidak hanya menghasilkan para ilmuan yang berkualitas dibidang agama akan tetapi juga berkualitas diberbagai aspek kehidupan pada saat ini. Serta mampu menjawab tantang di era globalisasi sekarang







DAFTAR PUSTAKA


Ensiklopedia Islam, Departemen Pendidikan Nasional. Jakart : PT. Ichtiar Baru Van Hoeve. 2003

Mujib, Dkk, Entelektualisme Pesantren, Jakarta : PT. Diva Pustaka, 2004

Murodi, Sejarah Kebudayaan Islam, Jakarta : PT. Toha Putra, 2006

Tidak ada komentar:

Posting Komentar