Jumat, 23 April 2010

Pengertian Al-Jarh wat Ta’dil


Secara bahasa, dengan mem-fathah-kan huruf jim (dibaca ja); jarh artinya adalah akibat atau bekas luka pada tubuh disebabkan oleh senjata. Kalau di-dhammah-kan (dibaca ju) jurh dikatakan sebagai isim dari kata kerjanya.
Adapula yang mengatakan jurh berkaitan dengan jasmani yang diakibatkan oleh senjata, sedangkan jarh adalah akibat perkataan, yang menimbulkan bekas secara maknawi atau mengenai sisi kehormatan seseorang.
Secara istilah, jarh adalah sifat atau keadaan seorang rawi yang menyebabkan ditolak atau dilemahkan periwayatannya terhadap suatu hadits.
Adapun ta’dil secara bahasa sama artinya dengan taswiyah, yaitu mengukur atau menimbang sesuatu dengan yang lainnya. Secara istilah mempunyai pengertian yang sebaliknya dari jarh.
Asy-Syaikh ‘Abdurrahman Al-Mu’allimi Al-Yamani rahimahullah mengatakan bahwa ilmu al-jarh wat ta'dil ialah ilmu yang mempelajari tentang al-jarh dan at-ta’dil terhadap seorang rawi melalui lafadz-lafadz penilaian yang tertentu, sekaligus untuk mengetahui tingkatan lafadz-lafadz tersebut.1
Kritikan yang dilakukan para pakar ilmu hadits terhadap suatu hadits berkaitan dengan dua hal penting, yaitu berkaitan dengan para rawi (yang menyampaikan) hadits dan matan (redaksi) hadits tersebut. Sehingga dari sini, jika kriteria rawi tidak sesuai dengan yang diharapkan maka riwayatnya ditolak. Begitu pula jika redaksi hadits itu sendiri menimbulkan sesuatu yang diragukan untuk diterima, inipun ditolak2. Mereka mengatakan: “Shahihnya isnad (mata rantai periwayatan suatu hadits) belum tentu shahih matannya (redaksinya).” (Manhajun Naqdi ‘indal Muhadditsin hal 20-21).
Di antara landasan syariat yang dipertimbangkan dalam pelaksanaan al-jarh wat ta’dil ini adalah:
Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

يآ أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا إِنْ جآءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَأٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيْبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوْا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِيْنَ

“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (Al-Hujurat: 6)
Ayat ini adalah dalil yang tegas tentang wajibnya tabayyun, tatsabbut (meneliti kebenaran berita) dari seseorang yang fasik. Dan mafhum3 dari ayat ini, semua berita dari orang yang tsiqah (terpercaya) diterima.
Kemudian sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang dijadikan dasar (hukum) tentang perlunya penilaian dhabith (kekuatan hafalan):

Tidak ada komentar:

Posting Komentar