Rabu, 28 April 2010

MUHAMMAD ABDUH

MUHAMMAD ABDUH





Resume
Disajikan Sebagai Tugas Pada Mata Kuliah Ilmu Pendidikan
Dosen Pembimbing : Yuniar, M. Pd. I
Oleh :
Amran Marhamid (09260003)











FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA (IAIN) RADEN FATAH
PALEMBANG
2009

PENDAHULUAN


Muhammad abduh adalah tokoh muslim yang sangat da kenal oleh pelajar /mahasiswa islam. Beliau di kenal dengan sosok seorang pemikir yang professional terutama dalam dunia pendidikan.
Konsep pendidikan Muhammad Abduh ialah konsep pendidikan yang lebih di latar belakangi faktor situasi sosial keagamaan dan situasi pendidikan islam yang sedang mengalami kemunduran baik di bidang ilmu pengetahuan dan bidang ke agamaan.
Konsep pendidikan sampai dewasa ini nampaknya belum menghasilkan suatu perumusan yang mantap. Hal ini benar, dan kenyataan tersebut disebabkan bukan saja oleh kompleksnya masalah pendidikan, melainkan juga karena dunia pendidikan juga dituntut terus untuk memberikan jawaban baru yang relevan terhadap perubahan sosial yang bergerak begitu cepat.
Dari uraian di atas, pemakalah akan mencoba membahas lebih lanjut. Tentang konsep pendidikan Muhammad Abduh dan riwayat perjalanan hidupnya, dengan harapan semoga makalah ini dapat menambah wawasan keilmuan, lebih mengenal dan meneladani perjuangan tokoh-tokoh pendidikan islam serta membuka cakrawala berfikir kita. Amien








PEMBAHASAN

A. Biografi Muhammad Abduh
Muhamad Abduh bernama lengkap Muhammad bin Abduh bin Hasan Khairullah. Beliau dilahirkan di desa Mahallat Nashr di Kabupaten al-Buhairah, Mesir pada 1850 M/1266 H, berasal dari keluarga yang tidak tergolong kaya dan bukan pula keturunan bangsawan.
Muhammad Abduh hidup dalam lingkungan keluarga petani di pedesaan. Namun demikian, ayahnya dikenal sebagai orang terhormat yang suka memberi pertolongan. Semua saudaranya membantu ayahnya mengelola usaha pertanian, kecuali Muhammad Abduh yang oleh ayahnya ditugaskan untuk menuntut ilmu pengetahuan. Pilihan ini bisa jadi hanya suatu kebetulan atau mungkin juga karena ia sangat dicintai oleh ayah dan ibunya. Hal tersebut terbukti dengan sikap ibunya yang tidak sabar ketika ditinggal oleh Muhammad Abduh ke desa lain, baru dua minggu sejak kepergiannya, ibunya sudah datang menjenguk. Beliau dikawinkan dalam usia yang sangat muda yaitu pada tahun 1865, saat ia baru berusia 16 tahun.
Pendidikan Muhammad Abduh dimulai dari Masjid al-Ahmadi Thantha (sekitar 80 Km. dari Kairo) untuk mempelajari tajwid Al-Qur'an. Setelah dua tahun berjalan di sana, pada tahun 1864 ia memutuskan untuk kembali ke desanya dan bertani seperti saudara-saudara dan kerabatnya. Waktu kembali ke desa inilah ia dikawinkan.
Walaupun sudah kawin, ayahnya tetap memaksanya untuk kembali belajar. Namun Muhammad Abduh sudah bertekad untuk tidak kembali. Maka ia lari ke desa Syibral Khit − tempat di mana banyak paman dari pihak ayahnya yang bertempat tinggal. Di kota inilah ia bertemu dengan Syaikh Darwisy Khidr, salah seorang pamannya yang mempunyai pengetahuan mengenai al-Qur'an dan menganut paham tasawuf asy-Syadziliah. Pada periode ini, Muhammad Abduh sangat dipengaruhi oleh cara dan paham sufi yang ditanamkan oleh sang paman. Ia berhasil merubah pandangan pemuda ini dari seorang yang membenci ilmu pengetahuan menjadi menggemarinya.
Beliau sempat kembali ke Masjid al-Ahmadi Thantha, kemudian menuju ke Kairo untuk belajar di al-Azhar, yaitu pada bulan Februari, 1866. Di perguruan ini ia sempat berkenalan dengan sekian banyak dosen yang dikaguminya, di antaranya: Pertama, Syaikh Hasan ath-Thawi yang mengajarkan kitab-kitab filsafat karangan Ibnu Sina, logika karangan Aristoteles, dan lain sebagainya. Padahal, kitab-kitab tersebut tidak diajarkan di al-Azhar pada waktu itu; Kedua, Muhammad al-Basyuni, seorang ilmuan yang banyak mencurahkan perhatian dalam bidang sastra bahasa, bukan melalui pengajaran tata bahasa melainkan melalui kehalusan rasa dan kemampuan mempraktekkannya.
Ketika Jamaluddin al-Afghani tiba di Mesir, tahun 1871, kehadirannya disambut oleh Muhammad Abduh dengan menghadiri pertemuan-pertemuan ilmiah yang diadakan olehnya. Hubungan ini mengalihkan kecenderungan Muhammad Abduh dari tasawuf dalam arti yang sempit, sebagai bentuk tata cara berpakaian dan zikir, kepada tasawuf dalam arti yang lain, yaitu perjuangan untuk melakukan perbaikan keadaan masyarakat, membimbing mereka untuk maju, dan membela ajaran-ajaran Islam.
Setelah dua tahun sejak pertemuannya dengan Jamaluddin al-Afghani, terjadilah perubahan yang sangat berarti pada kepribadian Abduh dan mulailah ia menulis kitab-kitab karangannya seperti Risalah al-'Aridat (1837), disusul kemudian dengan Hasyiah Syarah al-Jalal ad-Diwani Lil ‘Aqaid adh-Adhudhiyah (1875). Dalam karangannya ini, Abduh yang ketika itu baru berumur 26 tahun telah menulis dengan mendalam tentang aliran-aliran filsafat, ilmu kalam (teologi), dan tasawwuf, serta mengkritik pendapat-pendapat yang dianggapnya salah.
Di samping itu, Abduh juga menulis artikel-artikel pembaruan di surat kabar Al-Ahram, Kairo. Melalui media ini gema tulisan tersebut sampai ke telinga para pengajar di al-Azhar yang sebagian di antaranya menimbulkan kontroversi serta pembelaan dari Syaikh Muhammad al-Mahdi al-Abbasi, di mana ketika beliau menduduki jabatan "Syaikh al-Azhar", Muhammad Abduh dinyatakan lulus dengan mencapai tingkat tertinggi di al-Azhar, dalam usia 28 tahun (1877 M). Setelah lulus dari tingkat Alamiyah (sekarang Lc.), ia mengabdikan diri pada al-Azhar dengan mengajar Manthiq (Logika) dan Ilmu Kalam (Teologi), sedangkan di rumahnya ia mengajar pula kitab Tahdzib al-Akhlaq karangan Ibnu Maskawaih dan Sejarah Peradaban Kerajaan-kerajaan Eropa.
Pada tahun 1878, ia diangkat sebagai Pengajar Sejarah pada sekolah Dar al-'Ulum (yang kemudian menjadi fakultas) dan ilmu-ilmu bahasa Arab pada Madrasah Al-Idarah Wal Alsun (Sekolah Administrasi dan Bahasa-bahasa).
Pada tahun 1879, Muhammad Abduh diberhentikan dari dua sekolah yang disebut terakhir dan diasingkan ke tempat kelahirannya, Mahallat Nashr (Mesir), berbarengan dengan terjadinya pengusiran terhadap Jamaluddin al-Afghani oleh pemerintah Mesir atas hasutan Inggris yang ketika itu sangat berpengaruh di Mesir. Akan tetapi, dengan terjadinya perubahan Kabinet pada 1880, beliau dibebaskan kembali dan diserahi tugas memimpin surat kabar resmi pemerintah, Al-Waqa'i al-Mishriyah. Surat kabar ini, oleh Muhammad Abduh dan kawan-kawan bekas murid Al-Afghani, dijadikan media untuk mengkritik pemerintah dan aparat-aparatnya yang menyeleweng atau bertindak sewenang-wenang.
Setelah Revolusi Urabi tahun 1882 (yang berakhir dengan kegagalan), Muhammad Abduh yang ketika itu masih memimpin surat kabar Al-Waqa'i, dituduh terlibat dalam revolusi tersebut, sehingga pemerintah Mesir memutuskan untuk mengasingkannya selama tiga tahun dengan memberi hak kepadanya memilih tempat pengasingan, dan ia memilih Suriah. Di Negara ini Muhammad Abduh menetap selama setahun. Kemudian ia menyusul gurunya, Jamaluddin Al-Afghani, yang ketika itu berada di Paris. Di sana mereka berdua menerbitkan surat kabar Al-'Urwah al-Wutsqa, yang bertujuan mendirikan Pan-Islam dan menentang penjajahan Barat, khususnya Inggris.
Tahun 1884 Muhammad Abduh diutus oleh surat kabar tersebut ke Inggris untuk menemui tokoh-tokoh negara itu yang bersimpati kepada rakyat Mesir. Tahun 1885 Muhammad Abduh meninggalkan Paris menuju ke Beirut (Libanon) dan mengajar di sana sambil mengarang beberapa kitab, antara lain:
1. Risalah at-Tauhid (dalam bidang teologi);
2. Syarah Nahjul Balaghah (Komentar menyangkut kumpulan pidato dan ucapan Imam Ali bin Abi Thalib);
3. Menerjemahkan karangan Jamaluddin al-Afghani dari bahasa Persia, Ar-Raddu 'Ala ad-Dahriyyin (Bantahan terhadap orang yang tidak mempercayai wujud Tuhan); dan
4. Syarah Maqamat Badi' az-Zaman al-Hamazani (kitab yang menyangkut bahasa dan sastra Arab).
Di Beirut, aktivitas Muhammad Abduh tidak terbatas pada mengarang dan mengajar saja, tetapi bersama beberapa tokoh agama lain mendirikan sebuah organisasi yang bertujuan menggalang kerukunan antar umat beragama. Organisasi ini telah membuahkan hasil-hasil positif, terbukti dengan dimuatnya artikel-artikel yang mengangkat ajaran Islam secara objektif pada media massa di Inggris, padahal ketika itu jarang sekali dijumpai hal serupa di media Barat. Namun, organisasi ini dan aktivitas anggota-anggotanya dinilai oleh penguasa Turki di Beirut mempunyai tujuan-tujuan politik, sehingga penguasa tersebut mengusulkan kepada pemerintah Mesir untuk mencabut hukuman pengasingan Muhammad Abduh dan diminta segera kembali ke Mesir.
Pada 1888, Muhammad Abduh kembali ke tanah airnya dan oleh pemerintah Mesir ia diberi tugas sebagai hakim di Pengadilan Daerah Banha. Walaupun ketika itu Muhammad Abduh sangat berminat untuk mengajar, namun pemerintah Mesir agaknya sengaja merintangi, agar pikiran-pikirannya yang mungkin bertentangan dengan kebijaksanaan pemerintah ketika itu tidak dapat diteruskan kepada putera-puteri Mesir.
Terakhir, ia ditugaskan di Pengadilan Abidin, Kairo. Kemudian, pada 1899 ia diangkat menjadi Mufti Kerajaan Mesir dan pada tahun yang sama Muhammad Abduh juga menjabat sebagai anggota Majelis Syura Kerajaan Mesir, seksi perundang-undangan.
Pada tahun 1905, Muhammad Abduh mencetuskan ide pembentukan Universitas Mesir. Ide ini mendapat respon yang begitu antusias dari pemerintah maupun masyarakat, terbukti dengan disediakannya sebidang tanah untuk maksud tersebut. Namun sayang, universitas yang dicita-citakan ini baru berdiri setelah Muhammad Abduh berpulang ke Rahmatullah dan universitas inilah yang kemudian menjadi "Universitas Kairo".
Pada tanggal 11 Juli 1905, saat masa puncak aktivitasnya membina umat, Muhammad Abduh meninggal dunia di Kairo, Mesir. Yang menangisi kepergiannya bukan hanya umat Islam, tetapi ikut pula berduka di antaranya sekian banyak tokoh non-Muslim.
B. Pemikiran Muhammad Abduh Dalam Bidang Pendidikan

Mengubah pola befikir, berarti harus mengubah kualitas manusia dari bodoh dan tidak mengetahui apa-apa menjadi pandai dan mengetahui berbagai ilmu pengetahuan agama dalam arti sempit, maupun pengetahuan umum yang luas, ilmu pasti, sosial, sastra, falsafat, dan ilmu pengetahuan moderen lainnya. Abduh melakukan pembaruan di bidang pendidikan melalui pemikiran pendidikan dan praktik pendidikan. Pemikiran pendidikannya tertuang pada tiga bentuk: pertama, pentingnya Bahasa Arab; kedua, pengetahuan agama, sains modern, sejarah dan pengetahuan umum sama-sama penting; dan ketiga metode pengajaran tidak dititikberatkan kepada menghafal dan membaca komentar-komentar dari teks pelajaran, akan tetapi memahami dan mengerti apa yang terdapat di dalam ilmu itu dengan penekanan metode diskusi.

Selain itu, Ia melakukan pembaruan Al-Azhar antara lain meliputi administrasi, keuangan dan fasilitas bagi pengajar dan mahasiswa. Ia memperpanjang masa belajar dan memperpendek masa libur, mengemukakan betapa pentingnya pelajaran bahasa pada empat tahun pertama sebagai ganti dari pembacaan hasyiyah (komentar) dan syarh (penjelasan panjang lebar dari teks), dan pokok-pokok pelajaran diterangkan dengan cara mudah dan dimengerti. Mata pelajaran umum seperti matematika, aljabar, ilmu ukur, dan ilmu bumi dimasukkannya ke dalam kurikulum Al-Azhar. Perpustakaan Al-Azhar dilengkapinya. Ia sendiri turut mengajar di Al-Azhar dalam mata kuliah teologi Islam, logika, retorika dan tafsir.

Dalam pengamatannya, Ia melihat bahwa di Mesir tengah terjadi dualisme sistem pendidikan. Di satu sisi, terdapat madrasah-madrasah yang memberikan pendidikan agama tanpa memasukkan kurikulum pendidikan umum. Di sisi lain terdapat sekolah-sekolah umum yang yang dikelolah pemerintah yang tidak memberikan pendidikan agama memadai bagi murid-muridnya. Akibatnya, dualisme pendidikan ini seperti menghasilkan dua golongan yang sulit dipertemukan dan membuat jurang pemisah yang besar.
Oleh karena itu, Ia memandang bahwa dualisme pendidikan di Mesir pada saat itu tidak baik dan kurang menguntungkan bagi perkembangan umat islam. Sebab akan melahirkan dua kubu yang berbeda yang saling mengkalim dirinya yang paling unggul. Karena system pendidikan ini banyak perbeda satu sama lain. Oleh karena itu , perlu dimasukan kurikulum ilmu pengetahuan umum ke madrasah. Sebaliknya, memasukan kurikulum agama pada sekolah-sekolah umum.

Pemikiran pendidikan itu diterapkan oleh Abduh, di samping di masa-masa ia aktif mengajar di Dar al-Ulum, Al-Azhar, dan Perguruan Tinggi Bahasa Khedewi. Keadaan itu semakin meningkatkan ketika ia diangkat menjadi anggota Dewan Pimpinan al-Azhar oleh Khedewi Abbas pada tanggal 15 Januari 1895. Ia duduk di dalam Komite Adiministratis itu bersama-sama dengan ulama-ulama terkemuka dari mazhab Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hanbali yang sezaman dengannya itu. Ia bahkan menjadi penggerak dari dewan itu. Dalam kapasitasnya sebagai dewan pimpinan Al-Azhar, Muhammad Abduh membuat peraturan yang melarang pembacaan komentar (hasyiyah) dan penjelasan komperenshif tentang teks suatu buku (syara) untuk para mahasiswa masa empat tahun pertama. Sebagai gantinya, mahasiswa diberikan pokok-pokok mata kuliah yang disampaikan dalam bahasa yang mudah dipahami. Dalam merumuskan tujuan pendidikan, Muhammad Abduh selalu menghubungkan antara tujuan yang satu dengan yang lainnya, baik tujuan akhir pendidikan maupun tujuan

Meskipun upaya pembaruan yang ia lakukan di Al-Azhar mendapat tantangan dari ulama-ulama tradisional, namun banyak juga yang menerimanya. Cakrawala berfikir umat Islam telah pula dibukanya, walaupun ia terpaksa mundur dari anggota dewan pimpinan Al-Azhar, karena khedewi Abbas tidak merestuinya pada tahun 1905 M beberapa bulan sebelum ia wafat.

C. Relevansi Pemikiran Muhammad Abduh Terhadap Pendidikan Pada Saat Ini
Telah kita ketahui dari uraian di atas, Dalam merumuskan tujuan pendidikan, Muhammad Abduh selalu menghubungkan antara tujuan yang satu dengan yang lainnya, baik tujuan akhir pendidikan maupun tujuan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar