Rabu, 28 April 2010

ULUMUL QUR'AN

PENDAHULUAN

Al-Qur’an sebagai mukjizat terbesar dalam sejarah ke-Rasulan telah terbukti mampu menampakkan sisi kemukjizatannya yang luar biasa, bukan hanya eksistensinya yang tidak pernah rapuh dan kalah oleh tantangan zaman, tetapi al-Qur’an selalu mampu membaca setiap detik perkembangan zaman, sehingga membuat kitab suci yang diturunkan kepada Nabi Muhammad ini sangat absah menjadi referensi kehidupan umat manusia. Karena menurut Rahman al-Qur’an merupakan sebuah dokumen untuk umat manusia sekaligus sebagai petunjuk bagi umat manusia.
Al-Qur’an tidak hanya berbicara tentang moralitas universal kehidupan dan masalah spritualitas, tetapi juga menjadi sumber ilmu pengetahuan manusia yang unik dalam sepanjang kehidupan umat manusia.
Al-Qur’an bagi kaum muslimin adalah verbun dei (kalamullah) yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad, Nabi yang ummi melalui perantara Jibril selama kurang lebih dua puluh tiga tahun lamanya. Proses penurunan wahyu dalam kurun waktu tersebut dilakukan dengan cara bertahap sesuai dengan kebutuhan sosial masyarakat pada masa Nabi, sehingga terangkum menjadi 30 juz, 114 surat dan 6666 ayat.
Sebagai firman Allah, Al-Qur’an merefleksikan firman Allah yang memuat pesan-pesan ilahiyah untuk umat manusia. Secara bahasa, Al-Qur’an memang menggunakan bahasa manusia, karena al-Qur’an memang ditujukan kepada umat manusia sehingga harus bisa mengadaptasi bahasa yang menjadi objek dan sasaran al-Qur’an. Aka tetapi, di balik rangkaian ayat-ayat al-Qur’an tersebut, pesan substansial dari makna hakiki al-Qur’an tidak ditampakkan oleh Allah.
Para pembaca al-Qur’an masih harus mampu melakukan kerja-kerja penafsiran yang maksimal untuk menemukan pesan ideal Allah di balik ayat al-Qur’an yang tersurat. Artinya, tanpa ada upaya menemukan pesan tersebut, al-Qur’an hanya akan menjadi rangkaian ayat yang terdiam, karena al-Qur’an yang berwujud mushaf dan tidak lebih dari kumpulan huruf-huruf yang tidak akan mampu memberikan makna apa-apa, sebelum diajak berbicara. Hal ini merupakan konsekwensi rasional dari asumsi bahwa al-Qur’an – dalam pandangan kaum hermeneutis – merupakan teks diam dan tidak bisa berbicara dengan sendirinya, sementara al-Qur’an dibutuhkan untuk bisa berbicara guna menjawab setiap perjalanan zaman.
Upaya menemukan makna ideal di balik suratan ayat al-Qur’an tersebut membutuhkan kerja-kerja penafsiran yang total, karena kehadiran al-Qur’an yang tersurat tidak disertai dengan kehadiran makna substansial di dalamnya. Allah sepertinya memberikan kesempatan kepada umat manusia untuk menginterpretasi isi al-Qur’an sesuai dengan kemampuannya, dengan tetap berpijak pada visi dasar al-Qur’an sebagai rahmatan lil alamin. Artinya setiap penafsiran yang dilakukan harus selalu dirujukkan pada visi dan arah kehadiran al-Qur’an ke muka bumi ini, sehingga setiap penafsiran yang dilakukan minimal mendekati terhadap apa yang ingin disampaikan Tuhan melalui ayat-ayat-Nya. Oleh karena itu, Islam, al-Qur’an dan penafsiran merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Dalam istilah Edward W. Said, tidak akan ada Islam tanpa al-Qur’an ; sebaliknya, tidak akan ada al-Qur’an tanpa Muslim yang membacanya, menafsirkannya, mencoba menerjemahkannya ke dalam adat istiadat dan realitas-realitas sosial.
Munculnya berbagai model dan metode penafsiran terhadap al-Qur’an dalam sepanjang sejarah umat Islam merupakan salah satu bentuk upaya membuka dan menyingkap pesan-pesan teks secara optimal sesuai dengan kemampuan dan kondisi sosial sang mufasir. Salah satu metode penafsiran yang telah digunakan oleh sebagian mufasir dalam sejarah penafsiran umat Islam adalah metode Ijmali, seperti yang akan diuraikan dalam tulisan ini. Metode tafsir ijmali merupakan salah satu dari 4 metode penafsiran (maudlu’i, muqaran dan tahlili)yang pernah berkembang di kalangan umat Islam dan diterapkan menjadi beberapa kitab tafsir.
Dari uraian diatas, pemakalah mencoba untuk menjelaskan lebih lanjut kedalam seebuah makalah yang berjudul Ulumul Qur’an. Dengan harapan semoga makalah ini dapat bermanfaat dan menambah wawasan keilmuan mengenai Al-Qur’an. Amien






PEMBAHASAN

BAB I
Sejarah Turun dan Penulisan Al-Qur’an

1. Pengertian Al-Qur’an
Secara etimologi Al-Qur’an, berasal dari kata “qara’a” yang berarti membaca, “al-qar” yang berarti menghimpun, “qarana” yang berarti menyertakan dan “qara’in” yang berarti penguat.
Sedangkan secara terminilogi Al-Qur’an, didefinisikan ulama ushul, ulama fiqih, dan ulama bahasa, adalah “ kalam Allah SWT yang diturunkankepada Nabi-nya Muhammad SAW, yang lafazh-lafazhnya mengandung mukjizat, membacanya mempunyai nilai ibadah, yang diturunkan secara mutawatir, dan yang ditulis pada mushaf, mulai dari awal surat Al-Fatihah sampai akhir surat An-Nas

2. Hikmah Al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur.
Proses turunya Al-quran kepada Nabi Muhammad SAW adalah melalui tiga tahapan, yaitu :
- Pertama, Al-quran turun secara sekaligus dari Allah ke lauh al-mahfuzh, yaitu suatu tempat yang merupakan catatan tentang segala ketentuan dan kepastian Allah(Q.S AL-buruuj :21-22).
- Tahap kedua, Al-quran diturunkan dari lauh al-mahfuzh itu ke bait al-izzah (tempat yang berada di langit dunia)
- Tahap ketiga, Al-quran diturunkan dari bait al-izzah ke dalam hati Nabi Muhammad dengan jalan berngsur-angsur sesuai dengan kebutuhan. Adakalanya satu ayat, dua ayat, bahkan satu surat.
Hikmah Al-quran diturunkan secara berangsur-angsur.
1. Memantapkan hati Nabi Muhammad SAW (Al-Furqon : 32)
2. Menentang dan melemahkan para penentang Al-quran(AL-Furqon : 32)
3. Memudahkan untuk dihapal dan dipahami.(Al-Isra : 7 & Al-Furqon :32)
4. Mengikuti setiap kejadian (yang karenanya ayat-ayat Al-quran turun) dan melakukan pentahapan dalam penetapan syari`at.
5. Membuktikan dengan pasti bahwa al-quran turun dari Allah SWT yang maha bijaksana

3. Penulisan Al-Qur’an pada zaman nabi Muhammad SAW dan Khalifa Al-Rasyidin
Penulisan pada zaman Rasulullah hanya menggunakan metode Imlak, yakni setiap wahyu yang diturunkan kepada Rasul kemudian Beliau memebacakannya dan para sahabat disuruh untuk menulisnya baik pada pelepah kurma,kulit,tulang dan sebagainya
Pada zaman Abu Bakar . Karena banyaknya para penghafal Al-Qur’an yang tewas dalam peperangan, maka beliau berinisiatif untuk mengumpulkan shuhuf-shuhuf Al-Qur’an, yang terpencar-pencar pada pelepah kurma,kulit,tulang dan sebagainya
untuk dijadikan dalam satu mushab, dan tugas ini dipercayakan kepada Zaid bin Tsabit, Ubay iibn Ka’ab, Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Dan hal serupa juga terjadi pada zaman Umar bin Khattab.
Pada zaman Usman bin Affan. Timbul gerakan yang meninjau kembali shuhuf-shuhuf yang telah ditulis Zaid bin Tsabit.dan juga terjadi usaha pengumpulan shuhuf-shuhuf yang tersebar diberbagai daerah. Dan menyalinnya dalam satu mushab dan diberikan kepada beliau, akan tetapi salinan ini tidak memiliki syakl dan titik, cara penulisan seperti ini membuka kemungkinan terjadi berbagai macam bacaan dikalangan umat, serta dikhawatirkan terjadi nash-nash Al-qur’an. Oleh sebab itu beliau memerintahkan untuk memebakar semua shuhuf yang terdapat dalam masyarakat. Perbaikan penulisan Al-Qur’an ter-realisasi pada abad 3 Hijriyah, yang di komandani oleh Abu Aswad Ad-duali (bapak nahwu), dengan pemberian titik dan syakl terhadap Al-Qur’an. Setelah itu Al-Qur’an dibukukan serta menggunakan Rasm Usmani, yakni tata cara menulis Al-Quran yang ditetapkan pada masa khalifah Usman bin Affan





BAB II
Asbabul Nuzul
1. Pengertian dan macam-macam Asbabul Nuzul
a. Pengertian Asbabul Nuzul
Secara etimologi, asbab An-Nuzul adalah sebab-sebab yang melatarbelakangi terjadinya sesuatu. Sedangkan secara terminilogi, menurut Shubhi Shalih
Asbab An-Nuzul adalah suatu yang menjadi sebab turunnya satu atau beberapa ayat Al-quran (ayat-ayat) terkadang menyiratkan peristiwa itu, sebagai repons atasnya, atau sebagai penjelas terhadap hukum-hukum di saat peristiwa itu terjadi.
Definisi yang dikemukakan ini dan yang diistilahi, menghendaki supaya ayat-ayat al-Qur’an, dibagi dua:
1. Ayat yang ada sebab nuzulnya.
Sebagaimana dijelaskan oleh al-Wahidi, diriwayatkan dari Atha’ dari Abu Abdurahman, berkata ia: suatu hari Abdurahman bin A’uf membuat makanan, minuman, dan memanggil beberapa kawan-kawan, untuk itu, kemudian datanglah waktu shalat maghrib, maka shalatlah mereka dengan imam, dengan membaca surat al-Kafirun ( tidak membaca La dalam la’abudu dalam ayat itu ), maka turunlah firman Allah (wahai orang-orang yang beriman janganlah kalian mendekati shalat sedangkan kamu sekalian mabuk, hingga kalian mengetahui apa yang kalian katakana).

2. Ayat yang tidak ada sebab nuzulnya.
Contohnya saat Nabi tidur di dalam masjid beliau bermimpi tentang kebahagiaan surga (Surat Al-Kautsar)

2. Macam-macam Asbabun An-Nuzul
Dilihat dari sudut pandang redaksi-redaksi yang dipergunakan dalam riwayat Asbab an-Nuzul.
1. Sharih (visionable/jelas)
2. Muhtamilah (impossible/kemungkinan)
Dilihat dari sudut pandang berbilangnya Asbab an-Nuzul untuk satu ayat atau berbilangnya ayat untuk satu Asbab an-Nuzul.
1. Berbilangnya asbab an-nuzul untuk satu ayat (Ta’addud al-Sabab wa Nazil al-Wahid)
2. Variasi ayat untuk satu sebab (Ta’addud al-Nazil wa As-Sabab al-Wahid)
3. Unkapan-ungkapan Asbabul Nuzul
Asbab An-Nuzul adalah peristiwa yang terjadi pada zaman Rasulullah SAW, oleh karena itu, tidak boleh ada jalan lain untuk mengetahuinya selain berdasarkan periwayatan (pentransmisian) yang benar (naql Ash-shalih) dari orang-orang yang melihat dan mendengar langsung tentang turunnya ayat Al-quran.
4. Urgensi dan kegunaan Asbab An-Nuzul
a. Pedoman Mengetahui Asbabun Nuzul
Pedoman dasar para ulama dalam mengetahui asbabun nuzul ialah riwayat shahih yang berasal dari Rasulullah Saw atau dari sahabat. Itu disebutkan pemberitahuan seorang sahabat mengenai hal seperti ini, bila jelas, maka hal itu bukan sekedar pendapat, tetapi ia mempunyai hukum marfu’ (disandarkan pada Rasulullah). Al-Wahidie mengatakan, “Tidak halal berpendapat mengenai asbabun Nuzul kitab kecuali dengan berdasarkan pada riwayat atau mendengar langsung dari orang-orang yang menyaksikan turunnya, mengetahui sebab-sebabnya dan membahasnya tentang pengertiannya serta bersungguh-sungguh dalam mencarinya”. Al-Wahidie telah menentang ulama-ulama zamannya atas kecerobohan mereka terhadap riwayat asbabun nuzul. Bahkan ia menuduh mereka pendusta dan mengingatkan mereka akan ancaman berat, dengan mengatakan “Sekarang setiap orang suka mengada-ngada dan berbuat dusta: ia menempatkan kedudukannya dalam kebodohan, tanpa memikirkan acaman berat bagi orang yang tidak mengetahui sebab turunnya ayat”
b. Kisah Nuzulnya Ayat
Menanamkan sebab turunnya ayat dengan kisah nuzulnya ayat, sungguhlah mengisyaratkan kepada dzauq yang tinggi. Sebenarnya, asbabun nuzul tidaklah lain daripada kisah yang dipetik dari kenyataan dan kejadian, baik mengenai peristiwanya, maupun mengenai orang-orangnya. Dan kisah nuzul menimbulkan kegemaran untuk membaca kisah itu di setiap masa dan tempat, serta menghilangkan kejemuan, karena merasakan bahwa kisah-kisah (kejadian-kejadian itu) seolah baru saja terjadi.

c. Perbedaan Pendapat Para Ulama Tentang Beberapa Riwayat Mengenai (Asbabun Nuzul)
Terkadang terdapat banyak riwayat mengenai sebab nuzul suatu ayat. Dalam keadaan demikian, sikap seorang mufasir kepadanya sebagai berikut:
1. Apabila bentuk-bentuk redaksi riwayat itu tidak tegas, seperti: “Ayat ini turun mengenai urusan ini”, atau “Aku mengira ayat ini turun mengenai urusan ini”, maka dalam hal ini tidak ada kontradiksi di antara riwayat-riwayat itu. Sebab maksud riwayat-riwayat tersebut adalah penafsiran dan penjelasan bahwa hal itu termasuk ke dalam makna ayat dan disimpulkan darinya, bukan menyebutkan sebab nuzul, kecuali bila ada karinah atau indikasi pada salah satu riwayat bahwa maksudnya adalah penjelasan sebab nuzulnya.
2. Apabila salah satu bentuk redaksi riwayat itu tidak tegas, misalnya “Ayat ini turun mengenai urusan ini”. Sedang riwayat yang lain menyebutkan sebab nuzul dengan tegas yang berbeda dengan riwayat pertama, maka yang menjadi pegangan adalah riwayat yang menyebutkan sebab nuzul secara tegas; dan riwayat yang lain dipandang termasuk di dalam hukum ayat. Contohnya ialah riwayat tentang asbabun nuzul.
“istri-istrimu adalah ibarat tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki”. (Q.S. Al-Baqarah, 2 : 223)
Diriwayatkan oleh Ibnu jarir, Abu Ya’la, Ibnu Mardaweh, Bukhari, Ath-Thabrany dalam Al-Ausath bahwa pada masa Nabi Saw ada seorang laki-laki mendatangi istrinya dari arah belakang, kemudian orang-orang membencinya. Kemudian turunlah ayat 223 surah al-Baqarah. Dari beberapa riwayat tersebut jelaslah terdapat beberapa perbedaan tentang turunnya suatu ayat.
Adapun kegunaan mengetahui Asbabul Nuzul, antara lain :
- Membantu dalam memahami sekaligus mengatasi ketidakpastian dalam menangkap pesan ayat-ayat Al-quran.
- Mengatasi keraguan ayat yang diduga mengandung pengertian umum.
- Mengkhususkan hukum yang terkandung dalam ayat Al-quran, bagi ulama yang berpendapat bahwa yang menjadi pegangan adalah sebab yang bersifat khusus (khusus al-asbab) dan bukan lafazh yang bersifat umum (umum al-lafaz).
- Mengidentifikasikan pelaku yang menyebabkan ayat Al-quran turun.
- Memudahkan untuk menghapal dan memahami ayat, serta untuk memantapkan wahyu ke adalah hati orang yang mendengarnya.

BAB III
Munasabah Al-Qur’an
1. Pengertian dan macam-macam Munasabah
a. Pengertiaan
Secara etimologi : Al-musyakalah (keserupaan) dan Al-muqarabah (kedekatan), sedangkan secara terminologi Menrut ibn Al-Arabi : Munasabah adalah keterkaitan ayat-ayat Al-quran sehingga seolah-olah merupakan satu ungkapan yang mempunyai kesatuan makna dan keteraturan redaksi. Munasabah merupakan ilmu yang sangat agung. Adapun hemat saya adalah hubungan antara ayat dengan ayat atau surat dengan surat atau hubungan antara awal surat dan akhirnya.
b. Macam-macam Munasabah
1. Munasabah antarsurat dengan surat sebelumnya.(Ali-Imran dgn Al-An’an & Al-A’raf)
2. Munasabah antarnama surat dan tujuan turunnya.(Al-Baqarah dgn Ali-Imran)
3. Munasabah antarbagian surat ayat. (Al-Fatihah : 1-3)
4. Munasabah antar ayat yang letaknya bedampingan.
5. Munasabah antarsuatu kelompok ayat dengan kelompok ayat disampingnya.
6. Munasabah antarFashilah (pemisah) dan isi ayat.
7. Munasabah antarawal surat dengan akhir surat yang sama.
8. Munasabah antarpenutup suatu surat dengan awal surat berikutnya.
2. Urgensi dan Kegunaan Mempelajari Munasabah
1. Dapat mengembangkan sementara anggapan orang yang menganggap bahwa tema- tema Al-quran kehilangan relevansi antara suatu bagian denga bagian lainnya.
2. Mengetahui persambungan atau hubungan anatara bagian Al-quran, baik antara kalimat-kalimat atau ayat-ayat maupun surat-suratnya yang asatu denga yang lain,sehingga lebih memperdalam pengeahuan dan pengenalan terhadap kitabAl-quran dan memperkuat keyakinan terhadap kewahyuan dan kemukjizatannya.
3. Dapat diketahui mutu dan tikngkat kebalaghahan bahasa Al-quran dan konteks kalimat-kalimatnya yang satu dengan yang lainnya, serta persesuaian ayat/surat yang satu dari yang lain.
4. Dapat membantu dalam menafsirkan ayat-ayat Al-quran setelah diketahui hubungan suatu kalimat atau ayat dengan kalimat atau ayat yang lain.

BAB IV
Al-Makkyiah dan Al-Madanyiah

1. Pengertian Makkiyah dan Madaniyah
Makkiyyah ialah ayat-ayat yang turun sebelum rasullah hijrah ke Madinah, kendatipun bukan turun di Mekkah, selama 13 tahun. Adapun Madanyyah adalah ayat-ayat yang turun di Madinah. Ayat-ayat yang turun setelah peristiwa hijrah disebut Madaniyyah walaupun turun di Mekkah atau Arafah, selama 10 tahun. Cara mengetahui Makiyyah dan Madaniyyah
a. Pendekatan Transmisi (periwayatan)
b. Pendekatan Analogi (Qiyas)
2. Ciri-ciri ayat-ayat Makkiyah dan Madaniyah
1. Makkiyyah :
a. Di dalamnya terdapat ayat sajdah.
b. Ayat-ayatnya dimulai dengan kata “kalla”.
c. Dimulai denga ungkapan “ya ayyuha An-nas”
d. Ayat-ayatnya mengandung tema kisah para nabi dan umat-umat terdahulu.
e. Ayat-ayatnya berbicara tentang kisah Nabi Adam dan Iblis, kecuali surat Al-Baqarah
f. Ayat-ayatnya dimulai dengan huruf-huruf terpotong-potong (huruf At-thaiji) seperti alif lam mim dan sebagainya, kecuali surat Al-Baqarah dan Ali’Imran
2. Madaniyyah :
a. Mengandung ketentuan-ketentuan fara’id dan had.
b. Mengandung sindiran-sindiran terhadap kaum munafik, kecuali surat Al-Ankabut.
c. Mengandung uraian tentang perdebatan denga Ahli Kitabin
d. Dimulai dengan ungkapan “ya ayyuhallidzina amanu”
Adapun mengenai pengklasifikasian antara surat Makkiyah dan Madaniyah, terjadi perbedaan. Diantaranya Al-Khudury : 91 Makkiyah dan 23 Madaniyah, kemudian Ibn Hasyr : 82 Makkiyah dan 20 Madaniyah
3. Urgensi Pengetahuan tentang Makiyyah dan Madaniyyah
a. Membantu dalam menafsirkan Al-quran.
b. Pedoman bagi langkah-langkah dakwah.
c. Memberi informasi tentang sirah kenabian.
BAB V
Al-Muhkam wa Al-Mutasyabih
1. Pengertian
Al-Muhkam adalah ayat-ayat yang memperjelas atau sudah jelas dan tidak mungkin terdapat keraguan dalam menafsirkannya. Al-Mutasyabih adalah ayat-ayat yang mempunyai kesamaan arti dan hanya Allah yang tahu artinya, akan tetapi ulama ushul fiqh membolehkan memaknai ayat ini asalkan tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadist.
2. Sikap para Ulama terhadap Ayat-ayat Muhkan dan Mutasyabih
1. Madzhab salaf, yaitu para ulama yang mempercayai dan mengimani ayat-ayat Mutasyabih dan menyerahkan sepenuhnya kepada Allah sendiri (tafwidh ilallah)
2. Madzhab Khalaf, yaitu para ulama yang berpendapat perlunya menakwilkan ayat-ayat mutasyabih yang menyangkut sifat Allah sehingga melahirkan arti yang sesuai dengan keluhuran Allah.
3. Fathatih As-Suwar
Fathatih as-Suwar adalah pembukaan surt-surat Al-Qur’an
Bentuk redaksi fawatih as-suwar di dalam Al-quran :
1. Terdiri atas satu huruf.
2. Terdiri atas dua huruf.
3. Terdiri atas tiga huruf.
4. Terdiri atas empat huruf.
5. Terdiri atas lima huruf.
4. Hikmah Keberadaan Ayat Mutasyabih dalam Al-Quran.
1. Memperlihatkan kelemahan akal manusia.
2. Teguran bagi orang-orang yang mengotak-atik ayat mutasyabih.
3. Memberikan pemahaman abstrak-ilahiah kepada manusia melalui pengalaman indrawi yang biasa diskasikannya.
BAB VI
Qira’at Al-Qur’an
1. Pengertian Qira'at dan Sejarahnya
Al-Qira'at adalah jamak dari kata qir'at yang berasal dari qara'a - yaqra'u - qirâ'atan. Menurut istilah qira'at ialah salah satu aliran dalam mengucapkan Al-Qur'an yang dipakai oleh salah seorang imam qura' yang berbeda dengan lainnya dalam hal ucapan Al-Qur'anul Karim. Qira'at ini berdasarkan sanad-sanadnya sampai kepada Rasulullah SAW.
Sedangkan Qira’at menurut al-Zarkasyi merupakan perbedaan lafal-lafal al-Qur'an, baik menyangkut huruf-hurufnya maupun cara pengucapan huruf-huruf tersebut, sepeti takhfif, tasydid dan lain-lain.
2. Latar belakang timbulnya perbedaan Qira’at
Latar belakang turunnya Qira’at disebabkan oleh waktu diturunkannya Qira’at itu sendiri. Sesuai dengan kedua pendapat berikut :
Pertama, Qira’at mulai diturunkan di Makkah bersamaan dengan turunnya al-Qur’an. Alasannya adalah bahwa sebagian besar surat-surat al-Qur’an adalah Makkiyah di mana terdapat juga di dalamnya Qira’at sebagaimana yang terdapat pada surat-surat Madaniyah. Hal ini menunjukkan bahwa Qira’at itu sudah mulai diturunkan sejak di Makkah.
Kedua, qira’at mulai diturunkan di Madinah sesudah peristiwa Hijrah, dimana orang-orang yang masuk Islam sudah banyak dan saling berbeda ungkapan bahasa Arab dan dialeknya. Pendapat ini dikuatkan oleh hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab shahihnya, demikian juga Ibn Jarir al-Tabari dalam kitab tafsirnya. Hadis yang panjang tersebut menunjukkan tentang waktu dibolehkannya membaca al-Qur’an dengan tujuh huruf adalah sesudah Hijrah, sebab sumber air Bani Gaffar – yang disebutkan dalam hadis tersebut--terletak di dekat kota Madinah.
3. Urgensi mempelajari qira’at dan pengaruhnya dalam Istimbat
Dalam hal istimbat hukum, qiraat dapat membantu menetapkan hukum secara lebih jeli dan cermat. Perbedaan qiraat al-Qur'an yang berkaitan dengan substansi lafaz atau kalimat, adakalanya mempengaruhi makna dari lafaz tersebut adakalanya tidak. Dengan demikian, maka perbedaan qiraat al-Qur'an adakalanya berpengaruh terhadap istimbat hukum, dan adakalanya tidak
1. Perbedaan qira’at yang berpengaruh terhadap istinbat Hukum
Qira’at shahihah (Mutawatir dan Masyhur) bisa dijadikan sebagai tafsir dan penjelas serta dasar penetapan hukum, misalnya qira’at membantu penafsiran qira’at (لَامَسْتُمْ) dalam menetapkan hal-hal yang membatalkan wudhu seperti dalam Q.S Al-Nisa’ (4): 43 Ada perbedaan cara membaca pada lafaz (لَامَسْتُمْ النِّسَاءَ). Ibn KAsir, Nafi', 'Ashim, Abu 'Amer dan Ibn 'Amir, membaca (لَامَسْتُمْ النِّسَاءَ), sedangkan Ham-zah dan al-Kisa'i, membaca (لَامَسْتُمْ النِّسَاءَ). Para ulama berbeda pendapat tentang makna dari qira’at (لَامَسْتُمْ), ada tiga versi pendapat ulama mengenai makna (َامَسْتُمْ), yaitu: bersetubuh, bersentuh, dan bersentuh serta bersetubuh.
2. Perbedaan Qiraat yang Tidak Berpengaruh terhadap Istinbat Hukum
Berikut ini adalah contoh dari adanya perbedaan qira’at tetapi tidak berpengaruh terhadap istimbath hukum, yaitu pada Q.S. al-Ahzab (33): 49.
Ayat ini menjelaskan, bahwa seorang istri yanng diceraiakn oleh suaminya dalam keadaan belum disetubuhi, maka tidak ada masa iddah baginya
Berkenaan dengan Q. S. al-Ahzab :49 , Hamzah dan al-Kisa'I, membacanya dengan (مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمآسُّوهُنَّ), sementara Ibn Kasir, Abu 'Amer, Ibn 'Ashim, dan Nafi' membaca: (مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ). Perbedaan bacaan tersebut tidak menimbulkan perbedaan maksud atau ketentuan hukum yang terkandung di dalamnya.
3. Pemakaian Qira’at Syaz dalam Istinbat Hukum
Tidak hanya qira’at mutawatir dan masyhur yang dapat dipergunakan untuk menggali hukum-hukum syar’iyah, bahkan qira’at Syaz juga boleh dipakai untuk membantu menetapkan hukum syar’iyah. Hal itu dengan pertimbangan bahwa qira’at Syaz itu sama kedudukannya dengan hadis Ahad (setingkat di bawah Mutawatir), dan mengamalkan hadis Ahad adalah boleh. Ini merupakan pendapat Jumhur ulama. Ulama mazhab Syafi’i tidak menerima dan tidak menjadikan Qiraat Syaz sebagai dasar penetapan hukum dengan alasan bahwa Qiraat Syaz tidak termasuk al-Qur’an.
Adapun syarat- syarat sah Qira’at sebagaimana, Para ulama menetapkan tiga syarat sah dan diterimanya qiraat. yaitu :
1. Sesuai dengan salah satu kaidah bahasa Arab.
2. Sesuai dengan tulisan pada salah satu mushaf Usmani, walaupun hanya tersirat.
3. Shahih sanadnya.
Pembagian Qira’at dan Macam-macamnya
Ibn al-Jazari, sebagaimana dinukil oleh al-Suyuti, menyatakan bahwa qira>’at dari segi sanad dapat dibagi menjadi 6 (enam) macam, yaitu :
1. Qira’at Mutawatir , Qira’at Mutawatir adalah qir’at yang diriwayatkan oleh orang banyak dari banyak orang yang tidak mungkin terjadi kesepakatan diantara mereka untuk berbuat kebohongan.Contoh untuk qira’at mutawatir ini ialah qira’at yang telah disepakati jalan perawiannya dari imam Qiraat Sab’ah
2. Q ira’at Masyhur, Qira’at Masyhur adalah qira’at yang sanadnya bersambung sampai kepada Rasulullah SAW. diriwayatkan oleh beberapa orang yang adil dan kuat hafalannya, serta qira’at -nya sesuai dengan salah satu rasam Usmani; baik qira’at itu dari para imam qira’at sab’ah, atau imam Qira’at’asyarah ataupun imam-imam lain yang dapat diterima qira’at -nya dan dikenal di kalangan ahli qira’at bahwa qira’at itu tidak salah dan tidak syadz, hanya saja derajatnya tidak sampai kepada derajat Mutawatir
Misalnya ialah qira’at yang diperselisihkan perawiannya dari imam qira’at Sab’ah, dimana sebagian ulama mengatakan bahwa qira’at itu dirawikan dari salah satu imam qira’at Sab’ah dan sebagian lagi mengatakan bukan dari mereka. Dua macam qira’at di atas, qira’at Mutawatir dan qira’at Masyhur, dipakai untuk membaca al-Qur’an, baik dalam shalat maupun diluar shalat, dan wajib meyakini ke-Qur’an-annya serta tidak boleh mengingkarinya sedikitpun.
3. Q ira’at Ahad, adalah qiraat yang sanadnya bersih dari cacat tetapi menyalahi rasam Utsamani dan tidak sesuai dengan kaidah bahasa Arab. Juga tidak terkenal di kalangan imam qira’at.
Qira’at Ahad ini tidak boleh dipakai untuk membaca al-Qur’an dan tidak wajib meyakininya sebagai al-Qur’an.
4. Q ira’at Syazah, adalah qir’at yang cacat sanadnya dan tidak bersambung sampai kepada Rasulullah SAW.
5. Qira’at Maudu’, adalah qira’at yang dibuat-buat dan disandarkan kepada seseorang tanpa mempunyai dasar periwayatan sama sekali.
6. Qira’at Syabih bil Mudraj, adalah qira’at yang menyerupai kelompok Mudraj dalam hadis, yakni qira’at yang telah memperoleh sisipan atau tambahan kalimat yang merupakan tafsir dari ayat tersebut.
4. Manfaat perbedaan Qira;at
Adanya bermacam-macam qiraat seperti telah disebutkan di atas, mempunyai berbagai manfaat, yaitu :
1. Meringankan umat Islam dan mudahkan mereka untuk membaca al-Qur’an. Keringanan ini sangat dirasakan khususnya oleh penduduk Arab pada masa awal diturunkannya al-Qur’an, dimana mereka terdiri dari berbagai kabilah dan suku yang diantara mereka banyak terdapat perbedaan logat, tekanan suara dan sebagainya. Meskipun sama-sama berbahasa Arab. Sekiranya al-Qur’an itu diturunkan dalam satu qiraat saja maka tentunya akan memberatkan suku-suku lain yang berbeda bahasanya dengan al-Qur’an.
2. Menunjukkan betapa terjaganya dan terpeliharanya al-Qur’an dari perubahan dan penyimpangan, padahal kitab ini mempunyai banyak segi bacaan yang berbeda-beda.
3. Dapat menjelaskan hal-hal mungkin masih global atau samar dalam qiraat yang lain, baik qira’at itu Mutawatir, Masyhur ataupun Syadz. Misalnya qira’at Syadz yang menyalahi rasam mushaf Usmani dalam lafaz dan makna tetapi dapat membantu penafsiran, yaitu lafaz (فامضوا) sebagai ganti dari lafaz (فَاسْعَوْا) pada Q.S. al-Jumu’ah (62)
BAB VII
I’jaz Al-Qur’an
1. Pengertian I’jaz Al-Qur’an
Kata I’jaz berasa ldari kata kerja, a’jaza-I’jaza yang berarti melemahkan atau menjadikan tidak mampu, sesuai dengan firman Allah SWT
         
…… Mengapa Aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu Aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini?... (QS. Al-Maidah : 31)
Sedangkan menurut Al- Qaththan I’jaz, adalah memperlihatkan kebenaran Nabi SAW, atas pengukuannya dengan cara membuktikankelemahan orang Arab dan generasi sesudahnya untuk menandingi kemukjizatan Al-Qur’an. Ilmu I’jaz Al-quran, yaitu ilmu yang menerangkan segi-segi kekuatan Al-quran sehingga dipandang sebagai suatu mukjiza tdan dapat melemahkan penentang-penantangnya atau - Perbuatan seseorang pengklaim bahwa ia menjalankan fungsi ilahiyah dengan cara melanggar ketentuan hukum alam dan membuat orang lain tidak mampu melakukannya dan bersaksi akan kebenaran klaimnya.
2. Macam-macam Mu’jizat
Secara umum mukjizat dapat digolongkan menjadi dua klasifikasi, yaitu:
a) Mu’jizat Indrawi (Hissiyyah), Mukjizat jenis ini diderivasikan pada kekuatan yang muncul dari segi fisik yang mengisyaratkan adanya kesaktian seorang nabi. Secara umum dapat diambil contoh adalah mukjizat nabi Musa dapat membelah lautan, mukjizat nabi Daud dapat melunakkan besi serta mukjizat nabi-nabi dari bani Israil yang lain.
b) Mukjizat Rasional (’aqliyah), Mukjizat ini tentunya sesuai dengan namanya lebih banyak ditopang oleh kemampuan intelektual yang rasional. Dalam kasus al-Quran sebagai mukjizat nabi Muhammad atas umatnya dapat dilihat dari segi keajaiban ilmiah yang rasional dan oleh karena itulah mukjizat al-Quran ini bias abadi sampai hari Qiamat.
3. Segi-segi kemukjizatan Al-Qur’an
Mukjizat al-Quran terdiri dari berbagai macam segi mukjizat, antara lain :
A. Segi bahasa dan susunan redaksinya ( I'jaz Lughowi)
Sejarah telah menyaksikan bahwa bangsa Arab pada saat turunnya al-Quran telah mencapai tingkat yang belum pernah dicapai oleh bangsa satu pun yang ada didunia ini, baik sebelum dan sesudah mereka dalam bidang kefashihan bahasa (balaghah). Mereka juga telah meramba jalan yang belum pernah diinjak orang lain dalam kesempurnaan menyampaikan penjelasan (al-bayan), keserasian dalam menyusun kata-kata, serta kelancaran logika.
Oleh karena bangsa Arab telah mencapai taraf yang begitu jauh dalam bahasa dan seni sastra, karena sebab itulah al-Quran menantang mereka. Padahal mereka memiliki kemampuan bahasa yang tidak bias dicapai orang lain seperti kemahiran dalam berpuisi, syi’ir atau prosa (natsar), memberikan penjelasan dalam langgam sastra yang tidak sampai oleh selain mereka. Namun walaupun begitu mereka tetap dalam ketidakberdayaan ketika dihadapkan dengan al-Quran.
B. Segi isyarat ilmiah ( I'jaz Ilmi)
Pemaknaan kemukjizatan al-Quran dalam segi ilmiyyah diantaranya :
1) Dorongan serta stimulasi al-Quran kepada manusia untuk selalu berfikir keras atas dirinya sendiri dan alam semesta yang mengitarinya.
2) Al-Quran memberikan ruangan sebebas-bebasnya pada pergulan pemikiran ilmu pengetahuan sebagaimana halnya tidak ditemukan pada kitab-kitab agama lainnya yang malah cenderung restriktif.
3) Al-Quran dalam mengemukakan dalil-dalil, argument serta penjelasan ayat-ayat ilmiah, menyebutkan isyarat-isyarat ilmiah yang sebagaiannya baru terungkap pada zaman atom, planet dan penaklukan angkasa luar sekarang ini. Diantaranya adalah :
a. Isyarat tentang Sejarah Tata Surya .
Allah SWT berfirman : “Dan Apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka Mengapakah mereka tiada juga beriman?” (QS. Al-Anbiya’: 30).
b. Isyarat tentang Fungsi Angin dalam Penyerbukan Bunga
Allah SWT berfirman : “Dan Kami telah meniupkan angin untuk mengawinkan (tumbuh-tumbuhan) dan Kami turunkan hujan dari langit, lalu Kami beri minum kamu dengan air itu, dan sekali-kali bukanlah kamu yang menyimpannya.” (QS. Al-Hijr: 22)
c. Isyarat tentang Sidik Jari manusia
Allah SWT berfirman : “ Bukan demikian, Sebenarnya kami Kuasa menyusun (kembali) jari jemarinya dengan sempurna" . (QS Al-Qiyamah 4)
C. Segi Sejarah & pemberitaan yang ghaib (I'jaz tarikhiy)
Surat-surat dalam al-Quran mencakup banyak berita tentang hal ghaib. Kapabilitas al-Quran dalam memberikan informasi-informasi tentang hal-hal yang ghaib seakan menjadi prasyarat utama penopang eksistensinya sebgai kitab mukjizat. Diantara contohnya adalah:
Sejarah / Keghaiban masa lampau.
Al-Quran sangat jelas dan fasih seklai dalam menjelaskan cerita masa lalu seakan-akan menjadi saksi mata yang langsung mengikuti jalannya cerita. Dan tidak ada satupun dari kisah-kisah tersebut yang tidak terbukti kebenarannya. Diantaranya adalah: Kisah nabi Musa & Firaun, Ibrahim, Nabi Yusuf, bahkan percakapan antara anak-anak Adam as.
D. Segi petunjuk penetapan hukum ( I'jaz Tasyri'i)
Diantara hal-hal yang mencengangkan akal dan tak mungkin dicari penyebabnya selain bahwa al-Quran adalah wahyu Allah, adalah terkandungnya syari’at paling ideal bagi umat manusia, undang-undang yang paling lurus bagi kehidupan, yang dibawa al-Quran untuk mengatur kehidupan manusia yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia. Meskipun memang banyak aturan hukum dari Al-Quran yang secara 'kasat mata' terlihat tidak adil, kejam dan sebagainya, tetapi sesungguhnya di balik itu ada kesempurnaan hukum yang tidak terhingga.
Diantara produk hukum Al-Quran yang menakjubkan dan penuh hikmah tersebut antara lain :
a. Hukuman Hudud bagi pelaku Zina, Pencurian, dsb (QS An-Nuur 2-3)
b. Hukuman Qishos bagi Pembunuhan ( QS Al-Baqoroh 178-180)
c. Hukum Waris yang detil (QS An- Nisa 11-12)







KESIMPULAN
1. Secara etimologi Al-Qur’an, berasal dari kata “qara’a” yang berarti membaca, “al-qar” yang berarti menghimpun, “qarana” yang berarti menyertakan dan “qara’in” yang berarti penguat. Al-qur;an turun sekaligus dari Allah ke lauhul mahfuz, kemudian ke bait al-izzah dan diturrunkan secara berangsur-angsur sesuai dengan keperluan Nabi. Pada masa Rasul penulisan Al-Qur’an masih menggunakan metode imlak dan tidak memiliki harokat. Pada masa Abu Bakar damn Umar bin Khattab terjadi Penghimpunan Al-Qur’an dan barulah Pada masa Utsman bin Affan Al-Qur’an ditulis dan dibukukan dengan menggunakan Rasm Usmani.
2. Secara etimologi, asbab An-Nuzul adalah sebab-sebab yang melatarbelakangi terjadinya sesuatu. Sedangkan secara terminilogi, menurut Shubhi Shalih
Asbab An-Nuzul adalah suatu yang menjadi sebab turunnya satu atau beberapa ayat Al-quran (ayat-ayat) terkadang menyiratkan peristiwa itu, sebagai repons atasnya, atau sebagai penjelas terhadap hukum-hukum di saat peristiwa itu terjadi.dan hali ini menghendaki bahwa ada ayat yang turun dengan sebab kejadian dan adapun yang tidak Adapun macam-macam asbabun nuzul ialah Sharih(visionable/jelas) dan Muhtamilah (impossible/kemungkinan)
3. Secara etimologi : Al-musyakalah (keserupaan) dan Al-muqarabah (kedekatan),
Secara terminilogi adalah hubungan antara ayat dengan ayat atau surat dengan surat atau hubungan antara awal surat dan akhirnya. Munasabah antarsurat dengan surat sebelumnya.(Ali-Imran dgn Al-An’an & Al-A’raf), Munasabah antarnama surat dan tujuan turunnya.(Al-Baqarah dgn Ali-Imran) Munasabah antarbagian surat ayat. (Al-Fatihah : 1-3) dan lain sebagainya.
4. Makkiyyah ialah ayat-ayat yang turun sebelum rasullah hijrah ke Madinah, kendatipun bukan turun di Mekkah, selama 13 tahun. Adapun Madanyyah adalah ayat-ayat yang turun di Madinah. Ayat-ayat yang turun setelah peristiwa hijrah disebut Madaniyyah walaupun turun di Mekkah atau Arafah, selama 10 tahun. Cara mengetahui Makiyyah dan Madaniyyah
5. Al-Muhkam adalah ayat-ayat yang memperjelas atau sudah jelas dan tidak mungkin terdapat keraguan dalam menafsirkannya. Al-Mutasyabih adalah ayat-ayat yang mempunyai kesamaan arti dan hanya Allah yang tahu artinya, akan tetapi ulama ushul fiqh membolehkan memaknai ayat ini asalkan tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadist. Fathatih as-Suwar adalah pembukaan surt-surat Al-Qur’an
6. Al-Qira'at adalah jamak dari kata qir'at yang berasal dari qara'a - yaqra'u - qirâ'atan. Menurut istilah qira'at ialah salah satu aliran dalam mengucapkan Al-Qur'an yang dipakai oleh salah seorang imam qura' yang berbeda dengan lainnya dalam hal ucapan. Adapun pengaru perbedaan qiira’at yakni penetapan hukum, misalnya qira’at membantu (لَامَسْتُمْ) dalam menetapkan hal-hal yang membatalkan wudhu seperti dalam Q.S Al-Nisa’ (4): 43 (Qira’at shahihah (Mutawatir dan Masyhur)
7. Kata I’jaz berasa ldari kata kerja, a’jaza-I’jaza yang berarti melemahkan atau menjadikan tidak mampu. Sedangkan menurut Al- Qaththan I’jaz, adalah memperlihatkan kebenaran Nabi SAW, atas pengukuannya dengan cara membuktikankelemahan orang Arab dan generasi sesudahnya untuk menandingi kemukjizatan Al-Qur’an. Ilmu I’jaz Al-quran. Adapun macam-macam Mu’jizat, yakni Mu’jizat Indrawi (Hissiyyah) dan Mukjizat Rasional (’aqli). Segi-segi kemukjizatan Al-Qur’an Mukjizat al-Quran terdiri dari berbagai macam segi mukjizat, antara lain :Segi bahasa dan susunan redaksinya ( I'jaz Lughowi), Segi isyarat ilmiah ( I'jaz Ilmi), Segi Sejarah & pemberitaan yang ghaib (I'jaz tarikhiy), Segi petunjuk penetapan hukum ( I'jaz Tasyri'i)









DAFTAR PUSTAKA

Ash Shiddieqy, M. Hasby. 1954. Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an/Tafsir. Jakarta: Bulan Bintang.
Rahman, Drs. Fatchur. 1974. Ikhtisar Musthalahul Hadits. Yogyakarta: PT Alma’arif.
Suparta, Drs. Munzier. 2002. Ilmu Hadits. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Matsna, Dr. Mohammad.2004. Qur’an Hadits. Semarang: PT Karya Toha Putra.
Muta’al, Drs. Muhammad Isa Hashori, Drs. H. Tamar Noer. 2004. Ulumul Qur’an. IAIN Raden Fatah Press : Palembang


























Resume
Disajikan Sebagai Tugas Pada Mata Kuliah Ulumul Qur’an
Dosen Pembimbing : Pathur Rahman, M. Ag


Disusun Oleh :
Amran Marhamid (09260003)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar