Minggu, 22 September 2013

LIBERALISME MENCENGKARAM KAMPUS ISLAM


Beberapa tahun belakangan ini muncul gagasan ‘ajaib’ tentang konsep keberagamaan, yaitu Pluralisme, Sekularisme, dan Liberalisme. Hal ini timbul disebabkan adanya rasa toleransi antar agama yang berlebihan. Dalam kehidupan bermasyarakat yang majemuk, perbedaan adalah suatu hal yang biasa dan lumrah. Pada Zaman Rasullullah pun hal tersebut pernah terjadi, yaitu pada awal periode Madinah. Pada saat itu kaum Muslimin hidup berdampingan dengan kaum musyrikin penyembah berhala, Yahudi dan Nasrani. Mereka menjalankan ibadahnya dengan caranya masing-masing.
Di Indonesia saat ini, toleransi antar agama tidak lagi sesuai dengan apa yang dikehendaki-Nya. Dialog antar agama kerap dilakukan para pemuka dan cendekiawan agama, tetapi hasilnya baru sebatas menghindari perselisihan saja., tidak mencapai substansi yang mendasar. Hal ini terbukti dengan malah munculnya berbagai aliran atau isme. Dan salah satunya adalah Liberalisme.
Liberalisme atau Liberal adalah sebuah ideologi, pandangan filsafat, dan tradisi politik yang didasarkan pada pemahaman bahwa kebebasan adalah nilai politik yang utama. Secara umum, liberalisme mencita-citakan suatu masyarakat yang bebas, dicirikan oleh kebebasan berpikir bagi para individu. Paham liberalisme menolak adanya pembatasan, khususnya dari pemerintah dan agama. Liberalisme menghendaki adanya, pertukaran gagasan yang bebas, ekonomi pasar yang mendukung usaha pribadi (private enterprise) yang relatif bebas, dan suatu sistem pemerintahan yang transparan, dan menolak adanya pembatasan terhadap pemilikan individu. Secara  umum liberalisme menganggap agama adalah pengekangan terhadap potensi akal manusia
          MUI sudah pernah memfatwakan keharaman sekularisme, pluralisme dan liberalisme pada Munas ke VII tahun 2005 , karena ini merupakan ide sesat dan merusak umat Islam.
Dalam Fatwa ini, yang dimaksud dengan:
“Liberalisme adalah memahami nash-nash agama (Al-Qur’an & Sunnah) dengan menggunakan akal pikiran yang bebas; dan hanya menerima doktrin-doktrin agama yang sesuai dengan akal pikiran semata.”
Berkaitan fatwa MUI ini, menimbulkan persoalan dalam hal  pendefinisian liberalisme. Kalau kita lihat dari akar katanya, Istilah ‘liberalisme' berasal dari bahasa Latin, liber, yang artinya ‘bebas' atau ‘merdeka'. Hingga penghujung abad ke-18 Masehi, istilah ini terkait erat dengan konsep manusia merdeka, bisa semenjak lahir ataupun setelah dibebaskan, yakni mantan budak (freedman).
Dari sinilah muncul istilah ‘liberal arts' yang berarti ilmu yang berguna bagi dan sepatutnya dimiliki oleh setiap orang merdeka, yaitu arithmetik, geometri, astronomi dan musik (quadrivium) serta grammatika, logika dan rhetorika (trivium).
Di zaman Pencerahan, kaum intelektual dan politisi Eropa menggunakan istilah liberal untuk membedakan diri mereka dari kelompok lain. Sebagai adjektif, kata ‘liberal' dipakai untuk menunjuk sikap anti feodal, anti kemapanan, rasional, bebas merdeka (independent), berpikiran luas lagi terbuka (open-minded) dan, oleh karena itu, hebat (magnanimous).
Dalam politik, liberalisme dimaknai sebagai sistem dan kecenderungan yang berlawanan dengan dan menentang ‘mati-matian' sentralisasi dan absolutisme kekuasaan. Munculnya republik-republik menggantikan kerajaan-kerajaan konon tidak terlepas dari liberalisme ini.
Sementara di bidang ekonomi, liberalisme merujuk pada sistem pasar bebas dimana intervensi pemerintah dalam perekonomian dibatasi - jika tidak dibolehkan sama sekali. Dalam hal ini dan pada batasan tertentu, liberalisme identik dengan kapitalisme.
Di wilayah sosial, liberalisme berarti emansipasi wanita, penyetaraan gender, pupusnya kontrol sosial terhadap individu dan runtuhnya nilai-nilai kekeluargaan.
Biarkan wanita menentukan nasibnya sendiri, sebab tak seorang pun kini berhak dan boleh memaksa ataupun melarangnya untuk melakukan sesuatu.
Sedangkan dalam urusan agama, liberalisme berarti kebebasan menganut, meyakini, dan mengamalkan apa saja, sesuai kecenderungan, kehendak dan selera masing-masing. Bahkan lebih jauh dari itu, liberalisme mereduksi agama menjadi urusan privat. Artinya, konsep amar ma'ruf maupun nahi munkar bukan saja dinilai tidak relevan, bahkan dianggap bertentangan dengan semangat liberalisme. Asal tidak merugikan pihak lain, orang yang berzina tidak boleh dihukum, apalagi jika dilakukan atas dasar suka sama suka, menurut prinsip ini. Karena menggusur peran agama dan otoritas wahyu dari wilayah politik, ekonomi, maupun sosial, maka tidak salah jika liberalisme dipadankan dengan sekularisme.
Yang menjadi polemik saat ini ialah kalangan yang belum pernah atau belum lama berkenalan dengan wacana liberalisme. Terlebih wacana liberalisme Islam. Dan menurut kajian, diskusi serta perdebat yang ada liberalisme terhadap Islam ini. Dan menjadikan kampus Islam (Perguruan Tinggi Islam) sebagai kendaraan untuk kemudian menyebarkan ide-ide liberal.
Jika kita tarik sejarah pendirian Perguruan tinggi islam di Indonesia. Pemerintah Republik ini, melalui peraturan presiden No. 11/1960 – yang menginisiasi begulirnya gagasan pendirian perguruan tinggi islam dengan mendirikan Institut Agama Islam Negeri (IAIN). Pada tahun 1968, menteri agama KH. M. Dachlan, yang juga tokoh di kalangan Nahdatul Ulama (NU), menyampaikan pentingnya eksistensi kampus-kampus seperi IAIN. Dalam pidatonya Ia merefleksikan betapa urgennya pendidikan Islam, sehingga umat Islam Indonesia sejak jaman penjajah pun sudah kompak menolak pendidikan yang diberikan oleh kaum  penjajah.
Jelaskah kiranya bahwa IAIN sejak awal didirikan dengan cita-cita yang begitu mulia, yaitu cita-cita untuk menjaga generasi-generasi muda Islam dari pengaruh pemikiran-pemikiran yang disusupkan oleh kaum penjajah yang tentunya tidak sejalan dengan ajaran Islam.
Buya Hamka dalam bukunya Ghirah dan Tantangan Terhadap Islam, menegaskan bahwa kaum misionaris senantiasa bergandengan tangan dengan para pengasong pemikiran sekularisme yang netral agama. Jika umat Islam gagal dikafirkan, paling tidak pemikirannya diajuhkan dari cara berfikir yang islami. Allah SWT berfirman :
`s9ur 4ÓyÌös? y7Ytã ߊqåkuŽø9$# Ÿwur 3t»|Á¨Y9$# 4Ó®Lym yìÎ6®Ks? öNåktJ¯=ÏB 3 ö@è% žcÎ) yèd «!$# uqèd 3yçlù;$# 3 ÈûÈõs9ur |M÷èt7¨?$# Nèduä!#uq÷dr& y÷èt/ Ï%©!$# x8uä!%y` z`ÏB ÉOù=Ïèø9$#   $tB y7s9 z`ÏB «!$# `ÏB <cÍ<ur Ÿwur AŽÅÁtR ÇÊËÉÈ  
"Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: "Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)". Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu."

Dalam sejarah liberalisasi Islam di Kampus IAIN – Sebagian telah beralih nama Universitas Islam Negeri (UIN) – tersebutlah seorang tokoh, yaitu Harun Nasution. Bagi sebagaian orang, ia dianggap sebagai seorang pembeharu, namun sebagian yang lain menganggapnya sebagai pengkhianat Islam. Harun  Nasution adalah tokoh besar dalam sejarah IAIN/UIN. Ia  pernah menjabat sebagai rektor IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Dalam bukunya yang berjudul Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya menjadi bacaan wajib bagi Mahasiswa IAIN/UIN hingga kini. Harun yang pernah mengenyam pendidikan di Mesir, namun karirnya baru benar-benar melejit ketika ia mendapatkan bea siswa dari McGill University of Canada pada tahun 1962. Sebuah pusat studi Islam yang didirikan oleh Wilfred Cantwell Smith, salah seorang tokoh yang diklaim pluralis Barat. Di kampus ini pun, Harun benar-benar merasa puas mendalami Islam. Ia pun menuturkan
“Di situlah aku betul-betul puas belajar Islam. Aku mendapat beasiswa selama beberapa tahun. Disana juga aku memperoleh pandangan Islam yang luas. Bukan Islam yang diajarkan di Al Azhar. Di McGill aku punya kesempatan. Baik secara ekonomi ataupun waktu.  Aku membeli buku-buku modern, karangan orang pakistan atau orang-orang orientalis. Baik dalam berbahasa Inggris, Perancis atau Belanda. Di sana liberal. Bebas. Jadi mudah mencarinya
Disana baru kulihat Islam bercorak rasional. Bukan Islam irasional seperti didapatkan  Islam di Indonesia, Mekkah dan Al Azhar. Aku bisa mengerti kalau orang berpendidikan Barat mengenal Islam dengan baik melalui buku-buku karangan orientalis. Bisa kumengerti mengapa orang tertarik Islam karena karangan Orientalis.......
Aku memang tidak tertarik dengan karangan orang Islam sendiri. Kecuali yang modern seperti Ahmad Amin. Tapi bagaimana intelektual kita? Mana bisa membaca serupa buku-buku dari Inggris, Pakistan, India dan Sebagainya? Karangan dari Indonesia tak ada yang menarik...”
Ada beberapa catatan yang dapat kita jadikan sebuah kesimpulan. Pertama, meski Harun Nasution berasal dari Negara yang Mayoritas penduduknya Islam dan pernah mengenyam pendidikan di Al Azhar, Mesir. Akan tetapi, ia baru menemukan Islam yang sebenarnya dan rasional di negara Barat melaui buku-buku karangan orientalis. Kedua, selain “mengerti” dalam penyataannya juga ia “tertarik” dengan literatur dan kajian I     slam versi Orientalis. Artinya rukukan ia mempelajari Islam adalah gagasan-gagasan orientalis. Ketiga, ia menganggap selain karangan dan literatur Orientalis yang rasional, sedangkan yang lainnya tidak.
Pada tanggal 3 Desember 1975, Prof. HM. Rasjidi, mantan Menteri RI pertama, menulis laporan rahasia yang ditujukan kepada Menteri Agama dan beberapa pimpinan tertinggi Depag. Laporan tersebut berisikan kritikan beliau tentang betapa berbahayanya pemikiran yang terkandung didalam buku karya Harun Nasution “Islam Ditunjau dariBerbagai Aspeknya”. Apa dikata, kritik tersebut tidak digubris, tidak dijawab, bahkan diabaikan oleh Departemen yang pernah ia pimpin dulunya. Selama menunggu respon Depag selama setahun. Prof. HM. Rasjidi akhirnya memutuskan untuk mencurahkan kritikannya kedalam sebuah bentuk buku “Koreksi Terhadap Dr. Harun Nasution” pada tahun 1977. Dan buku ini pun tidak mendapatkan tanggapan sama sekali dari pihak Departemen Agama RI.
Era pasca Harun Nasution
Melalui Harun Nasution, mega proyek liberalisasi di perguruan tinggi Islam tetap bergulir. Pada perkembangannya, muncullah tokoh-tokoh baru yang turut mempopulerkan pemikiran-pemikiran kaum orientalis dan membawanya kedalam khazanah pemikiran Islam. Salah satunya sebuah tesis yang berjudul “Tafsir Inklusif Makna Islam” yang merekontruksikan makna Islam.
Sekali lagi, setiap agama yang dianut oleh semua umat manusia sepanjang sejarah adalah Islam, termasuk agama-agama yang masih ada sekarang. Bila melihat akar sejarah dari Nabi Ibrahim, maka tentu saja agama yang dibawa oleh Nabi Musa, yakni Yahudi, agama yang di bawah oleh Yesus Kritus (Nabi Isa), yaitu kristen dan yang terakhir adalah agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad adalah juga Islam”.
Dalam salah satu edisinya, Jurnal Justisia. Yang diterbitkan oleh IAIN Semarang mengambil tema “Indahnya Kawin Sesama Jenis”. Dalam edisi tersebut, disebutkan : “hanya orang primitif sajalah yang melihat perkawinan sesama jenis sebagai sesuatu yang abnormal dan berbahaya”. Cover story yang ditampilkan pun mengambil judul yang sangat provokatif: Indahnya Kawin Sesama Jenis.
Atau UIN Suna Gunung Jati, Bandung. Sejak 2004 yang lalu. Melalui pemikiran-pemikiran yang menistakan agama yang kini videonya tersebar dimana-mana. Dalam video tersebut kita melihat bagaiman mahasiswa UIN menyambut mahasiswa baru dengan slogan “Selamat datang di area bebas Tuhan... kebenaran ada di semua Agama!... kita tidak mau Tuhan saya takut sama akal manusia...”. dan tentu saja slogan yang paling terkenal dari video ini: “Kita dzikir bersama : Angjingu Akbar!”
Amat disayangkan, perguruan tinggi Islam yang sejatinya merupakan candra dimuka kajian Islam, sebagai gudang dai yang membawa keaslian ajaran Islam yang Kaffah (menyeluruh) ataupun Perguruan yang sejatinya didirian untuk mengcounter dan mesterilkan pemahaman yang meyimpang dan pemikiran kaum orientalis di tubuh ummat.  Malah didominasi oleh orang-orang yang mencederai nilai-nilai Islam melalui ide-ide nakal bahkan sesat.
Akan tetapi, kita pun tidak boleh serta merta melegitimasi bahwa perguruan tinggi Islam seluruhnya berisikan orang-orang memiliki pemikiran liberal. Masih banyak yang lurus dan benar-benar memikirkan Islam, memiliki padangan lurus dan memperhatikan Kondisi ummat Islam.

Kita juga harus prihatin, sebab kerusakan pemikiran di IAIN/UIN sangat mungkin membawa dampak yang serius ke tempat-tempat yang lainnya pula. Sebab, IAIN/UIN dikenal sebagai “pemasok” dosen, guru agama. Dan ini juga menjadi hal yang patut diperhatikan oleh Unsur-unsur di Perguruan Tinggi Islam; Dosen, Mahasiswa, dan Civitas akademika. Terlebih orang tua yang tidak ingin anaknya menerima pelajaran agama yang sudah terhadonai ataupun terinfiltrasi oleh pemikiran liberal , baik di jenjang SD, SMP SMA atau perguruan tinggi. Dan Kita pun menunggu orang-orang yang tulus dan ikhlas yang memiliki ide dan gagasan besar dalam merekontruksi Perguruan tinggi saat ini guna mengembalikan ghiroh dan asholah Islam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar