Beberapa tahun belakangan ini muncul gagasan ‘ajaib’
tentang konsep keberagamaan, yaitu Pluralisme, Sekularisme, dan Liberalisme.
Hal ini timbul disebabkan adanya rasa toleransi antar agama yang berlebihan.
Dalam kehidupan bermasyarakat yang majemuk, perbedaan adalah suatu hal yang
biasa dan lumrah. Pada Zaman Rasullullah pun hal tersebut pernah terjadi, yaitu
pada awal periode Madinah. Pada saat itu kaum Muslimin hidup berdampingan
dengan kaum musyrikin penyembah berhala, Yahudi dan Nasrani. Mereka menjalankan
ibadahnya dengan caranya masing-masing.
Di Indonesia saat ini, toleransi antar agama
tidak lagi sesuai dengan apa yang dikehendaki-Nya. Dialog antar agama kerap
dilakukan para pemuka dan cendekiawan agama, tetapi hasilnya baru sebatas
menghindari perselisihan saja., tidak mencapai substansi yang mendasar. Hal ini
terbukti dengan malah munculnya berbagai aliran atau isme. Dan salah satunya
adalah Liberalisme.
Liberalisme atau Liberal adalah sebuah
ideologi, pandangan filsafat, dan tradisi politik yang didasarkan pada
pemahaman bahwa kebebasan adalah nilai politik yang utama. Secara umum,
liberalisme mencita-citakan suatu masyarakat yang bebas, dicirikan oleh
kebebasan berpikir bagi para individu. Paham liberalisme menolak adanya
pembatasan, khususnya dari pemerintah dan agama. Liberalisme menghendaki
adanya, pertukaran gagasan yang bebas, ekonomi pasar yang mendukung usaha
pribadi (private enterprise) yang relatif bebas, dan suatu sistem pemerintahan
yang transparan, dan menolak adanya pembatasan terhadap pemilikan individu.
Secara umum liberalisme menganggap agama adalah pengekangan terhadap
potensi akal manusia
MUI
sudah pernah memfatwakan keharaman sekularisme, pluralisme dan liberalisme pada
Munas ke VII tahun 2005 , karena ini merupakan ide sesat dan merusak umat
Islam.
Dalam Fatwa ini, yang
dimaksud dengan:
“Liberalisme adalah
memahami nash-nash agama (Al-Qur’an & Sunnah) dengan menggunakan akal
pikiran yang bebas; dan hanya menerima doktrin-doktrin agama yang sesuai dengan
akal pikiran semata.”
Berkaitan fatwa MUI ini, menimbulkan persoalan dalam
hal pendefinisian liberalisme. Kalau
kita lihat dari akar katanya, Istilah ‘liberalisme' berasal dari bahasa Latin,
liber, yang artinya ‘bebas' atau ‘merdeka'. Hingga penghujung abad ke-18
Masehi, istilah ini terkait erat dengan konsep manusia merdeka, bisa semenjak
lahir ataupun setelah dibebaskan, yakni mantan budak (freedman).
Dari sinilah muncul istilah ‘liberal
arts' yang berarti ilmu yang berguna bagi dan sepatutnya dimiliki oleh
setiap orang merdeka, yaitu arithmetik, geometri, astronomi dan musik (quadrivium)
serta grammatika, logika dan rhetorika (trivium).
Di zaman Pencerahan, kaum
intelektual dan politisi Eropa menggunakan istilah liberal untuk membedakan
diri mereka dari kelompok lain. Sebagai adjektif, kata ‘liberal' dipakai untuk
menunjuk sikap anti feodal, anti kemapanan, rasional, bebas merdeka
(independent), berpikiran luas lagi terbuka (open-minded) dan, oleh
karena itu, hebat (magnanimous).
Dalam politik, liberalisme
dimaknai sebagai sistem dan kecenderungan yang berlawanan dengan dan menentang
‘mati-matian' sentralisasi dan absolutisme kekuasaan. Munculnya
republik-republik menggantikan kerajaan-kerajaan konon tidak terlepas dari
liberalisme ini.
Sementara di bidang ekonomi,
liberalisme merujuk pada sistem pasar bebas dimana intervensi pemerintah dalam
perekonomian dibatasi - jika tidak dibolehkan sama sekali. Dalam hal ini dan
pada batasan tertentu, liberalisme identik dengan kapitalisme.
Di wilayah sosial, liberalisme
berarti emansipasi wanita, penyetaraan gender, pupusnya kontrol sosial terhadap
individu dan runtuhnya nilai-nilai kekeluargaan.
Biarkan wanita menentukan nasibnya sendiri, sebab tak
seorang pun kini berhak dan boleh memaksa ataupun melarangnya untuk melakukan
sesuatu.
Sedangkan dalam urusan agama,
liberalisme berarti kebebasan menganut, meyakini, dan mengamalkan apa saja,
sesuai kecenderungan, kehendak dan selera masing-masing. Bahkan lebih jauh dari
itu, liberalisme mereduksi agama menjadi urusan privat. Artinya, konsep amar
ma'ruf maupun nahi munkar bukan saja dinilai tidak relevan, bahkan dianggap
bertentangan dengan semangat liberalisme. Asal tidak merugikan pihak lain,
orang yang berzina tidak boleh dihukum, apalagi jika dilakukan atas dasar suka
sama suka, menurut prinsip ini. Karena menggusur peran agama dan otoritas wahyu
dari wilayah politik, ekonomi, maupun sosial, maka tidak salah jika liberalisme
dipadankan dengan sekularisme.
Yang menjadi polemik saat ini
ialah kalangan yang belum pernah atau belum lama berkenalan dengan wacana
liberalisme. Terlebih wacana liberalisme Islam. Dan menurut kajian, diskusi
serta perdebat yang ada liberalisme terhadap Islam ini. Dan menjadikan kampus Islam
(Perguruan Tinggi Islam) sebagai kendaraan untuk kemudian menyebarkan ide-ide
liberal.
Jika kita tarik sejarah pendirian
Perguruan tinggi islam di Indonesia. Pemerintah Republik ini, melalui peraturan
presiden No. 11/1960 – yang menginisiasi begulirnya gagasan pendirian perguruan
tinggi islam dengan mendirikan Institut Agama Islam Negeri (IAIN). Pada tahun
1968, menteri agama KH. M. Dachlan, yang juga tokoh di kalangan Nahdatul Ulama
(NU), menyampaikan pentingnya eksistensi kampus-kampus seperi IAIN. Dalam
pidatonya Ia merefleksikan betapa urgennya pendidikan Islam, sehingga umat
Islam Indonesia sejak jaman penjajah pun sudah kompak menolak pendidikan yang
diberikan oleh kaum penjajah.
Jelaskah kiranya bahwa IAIN sejak
awal didirikan dengan cita-cita yang begitu mulia, yaitu cita-cita untuk
menjaga generasi-generasi muda Islam dari pengaruh pemikiran-pemikiran yang
disusupkan oleh kaum penjajah yang tentunya tidak sejalan dengan ajaran Islam.
Buya Hamka dalam bukunya Ghirah
dan Tantangan Terhadap Islam, menegaskan bahwa kaum misionaris senantiasa
bergandengan tangan dengan para pengasong pemikiran sekularisme yang netral
agama. Jika umat Islam gagal dikafirkan, paling tidak pemikirannya diajuhkan
dari cara berfikir yang islami. Allah SWT berfirman :
`s9ur 4ÓyÌös? y7Ytã
ßqåkuø9$#
wur 3t»|Á¨Y9$# 4Ó®Lym yìÎ6®Ks? öNåktJ¯=ÏB 3
ö@è% cÎ) yèd
«!$# uqèd 3yçlù;$# 3
ÈûÈõs9ur |M÷èt7¨?$# Nèduä!#uq÷dr&
y÷èt/ Ï%©!$#
x8uä!%y` z`ÏB ÉOù=Ïèø9$#
$tB
y7s9 z`ÏB «!$# `ÏB
<cÍ<ur
wur AÅÁtR
ÇÊËÉÈ
"Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga
kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: "Sesungguhnya petunjuk Allah
itulah petunjuk (yang benar)". Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti
kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi
menjadi pelindung dan penolong bagimu."
Dalam sejarah liberalisasi Islam di Kampus IAIN
– Sebagian telah beralih nama Universitas Islam Negeri (UIN) – tersebutlah seorang
tokoh, yaitu Harun Nasution. Bagi sebagaian orang, ia dianggap sebagai seorang
pembeharu, namun sebagian yang lain menganggapnya sebagai pengkhianat Islam. Harun
Nasution adalah tokoh besar dalam sejarah
IAIN/UIN. Ia pernah menjabat sebagai
rektor IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Dalam bukunya yang berjudul Islam
Ditinjau dari Berbagai Aspeknya menjadi bacaan wajib bagi Mahasiswa
IAIN/UIN hingga kini. Harun yang pernah mengenyam pendidikan di Mesir, namun
karirnya baru benar-benar melejit ketika ia mendapatkan bea siswa dari McGill
University of Canada pada tahun 1962. Sebuah pusat studi Islam yang didirikan
oleh Wilfred Cantwell Smith, salah seorang tokoh yang diklaim pluralis Barat. Di
kampus ini pun, Harun benar-benar merasa puas mendalami Islam. Ia pun
menuturkan
“Di situlah aku betul-betul puas belajar Islam. Aku mendapat
beasiswa selama beberapa tahun. Disana juga aku memperoleh pandangan Islam yang
luas. Bukan Islam yang diajarkan di Al Azhar. Di McGill aku punya kesempatan. Baik
secara ekonomi ataupun waktu. Aku membeli
buku-buku modern, karangan orang pakistan atau orang-orang orientalis. Baik dalam
berbahasa Inggris, Perancis atau Belanda. Di sana liberal. Bebas. Jadi mudah
mencarinya
Disana baru kulihat Islam bercorak rasional. Bukan Islam
irasional seperti didapatkan Islam di
Indonesia, Mekkah dan Al Azhar. Aku bisa mengerti kalau orang berpendidikan
Barat mengenal Islam dengan baik melalui buku-buku karangan orientalis. Bisa kumengerti
mengapa orang tertarik Islam karena karangan Orientalis.......
Aku memang tidak tertarik dengan karangan orang Islam sendiri. Kecuali yang modern seperti Ahmad Amin. Tapi bagaimana
intelektual kita? Mana bisa membaca serupa buku-buku dari Inggris, Pakistan,
India dan Sebagainya? Karangan dari Indonesia tak ada yang menarik...”
Ada beberapa catatan yang dapat kita jadikan
sebuah kesimpulan. Pertama, meski Harun Nasution berasal dari Negara
yang Mayoritas penduduknya Islam dan pernah mengenyam pendidikan di Al Azhar,
Mesir. Akan tetapi, ia baru menemukan Islam yang sebenarnya dan rasional di
negara Barat melaui buku-buku karangan orientalis. Kedua, selain “mengerti”
dalam penyataannya juga ia “tertarik” dengan literatur dan kajian I slam versi Orientalis. Artinya rukukan ia
mempelajari Islam adalah gagasan-gagasan orientalis. Ketiga, ia
menganggap selain karangan dan literatur Orientalis yang rasional, sedangkan
yang lainnya tidak.
Pada tanggal 3 Desember 1975, Prof. HM. Rasjidi,
mantan Menteri RI pertama, menulis laporan rahasia yang ditujukan kepada
Menteri Agama dan beberapa pimpinan tertinggi Depag. Laporan tersebut berisikan
kritikan beliau tentang betapa berbahayanya pemikiran yang terkandung didalam
buku karya Harun Nasution “Islam Ditunjau dariBerbagai Aspeknya”. Apa
dikata, kritik tersebut tidak digubris, tidak dijawab, bahkan diabaikan oleh
Departemen yang pernah ia pimpin dulunya. Selama menunggu respon Depag selama
setahun. Prof. HM. Rasjidi akhirnya memutuskan untuk mencurahkan kritikannya
kedalam sebuah bentuk buku “Koreksi Terhadap Dr. Harun Nasution” pada
tahun 1977. Dan buku ini pun tidak mendapatkan tanggapan sama sekali dari pihak
Departemen Agama RI.
Era pasca Harun Nasution
Melalui Harun Nasution, mega proyek
liberalisasi di perguruan tinggi Islam tetap bergulir. Pada perkembangannya,
muncullah tokoh-tokoh baru yang turut mempopulerkan pemikiran-pemikiran kaum
orientalis dan membawanya kedalam khazanah pemikiran Islam. Salah satunya
sebuah tesis yang berjudul “Tafsir Inklusif Makna Islam” yang
merekontruksikan makna Islam.
“Sekali lagi, setiap agama yang dianut oleh semua umat manusia
sepanjang sejarah adalah Islam, termasuk agama-agama yang masih ada sekarang. Bila
melihat akar sejarah dari Nabi Ibrahim, maka tentu saja agama yang dibawa oleh Nabi
Musa, yakni Yahudi, agama yang di bawah oleh Yesus Kritus (Nabi Isa), yaitu
kristen dan yang terakhir adalah agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad adalah
juga Islam”.
Dalam salah satu edisinya, Jurnal Justisia. Yang
diterbitkan oleh IAIN Semarang mengambil tema “Indahnya Kawin Sesama Jenis”. Dalam
edisi tersebut, disebutkan : “hanya orang primitif sajalah yang melihat
perkawinan sesama jenis sebagai sesuatu yang abnormal dan berbahaya”. Cover
story yang ditampilkan pun mengambil judul yang sangat provokatif: Indahnya
Kawin Sesama Jenis.
Atau UIN Suna Gunung Jati, Bandung. Sejak 2004
yang lalu. Melalui pemikiran-pemikiran yang menistakan agama yang kini videonya
tersebar dimana-mana. Dalam video tersebut kita melihat bagaiman mahasiswa UIN
menyambut mahasiswa baru dengan slogan “Selamat datang di area bebas Tuhan...
kebenaran ada di semua Agama!... kita tidak mau Tuhan saya takut sama akal
manusia...”. dan tentu saja slogan yang paling terkenal dari video ini: “Kita
dzikir bersama : Angjingu Akbar!”
Amat disayangkan, perguruan tinggi Islam yang
sejatinya merupakan candra dimuka kajian Islam, sebagai gudang dai yang membawa
keaslian ajaran Islam yang Kaffah (menyeluruh) ataupun Perguruan yang sejatinya
didirian untuk mengcounter dan mesterilkan pemahaman yang meyimpang dan
pemikiran kaum orientalis di tubuh ummat. Malah didominasi oleh orang-orang yang
mencederai nilai-nilai Islam melalui ide-ide nakal bahkan sesat.
Akan tetapi, kita pun tidak boleh serta merta
melegitimasi bahwa perguruan tinggi Islam seluruhnya berisikan orang-orang
memiliki pemikiran liberal. Masih banyak yang lurus dan benar-benar memikirkan
Islam, memiliki padangan lurus dan memperhatikan Kondisi ummat Islam.
Kita juga harus prihatin, sebab kerusakan
pemikiran di IAIN/UIN sangat mungkin membawa dampak yang serius ke
tempat-tempat yang lainnya pula. Sebab, IAIN/UIN dikenal sebagai “pemasok”
dosen, guru agama. Dan ini juga menjadi hal yang patut diperhatikan oleh
Unsur-unsur di Perguruan Tinggi Islam; Dosen, Mahasiswa, dan Civitas akademika.
Terlebih orang tua yang tidak ingin anaknya menerima pelajaran agama yang sudah
terhadonai ataupun terinfiltrasi oleh pemikiran liberal , baik di jenjang SD,
SMP SMA atau perguruan tinggi. Dan Kita pun menunggu orang-orang yang tulus dan
ikhlas yang memiliki ide dan gagasan besar dalam merekontruksi Perguruan tinggi
saat ini guna mengembalikan ghiroh dan asholah Islam.